You Or You -- 1

3.5K 195 9
                                    

Dengan langkah riang Adinda menuju kelas. Tampak segerombolan anak yang tengah bermain langsung menghambur ke arah Dinda.

"Ibu!" seru seorang gadis berkuncir menghampirinya seraya meminta tangan Dinda untuk dicium, diikuti beberapa anak yang lain.

Suara bel tanda masuk berbunyi. Anak-anak berseragam hijau muda dan tua dengan dasi kupu-kupu yang menempel di kerah segera membentuk barisan.
Seseorang bertindak sebagai pemimpin yang akan menyiapkan pasukanya. Satu persatu mereka berjalan menuju kelas dan diambang pintu telah berdiri Dinda, guru kelas mereka memberikan tanganya untuk dicium tanpa menghilangkan senyum manis di bibirnya.
Kelas dimulai dengan penuh semangat. Berdoa pada awal pelajaran serta nyanyian penuh kegirangan serta pembelajaran berbagai macam buah-buahan dihabiskan Dinda bersama murid Taman kanak-kanaknya hari itu.

♡♡♡

"Bu, saya belum dijemput Mama," lapor seorang gadis kecil dengan kepang dua pada rambut lurusnya.

"Adel, tunggu sebentar lagi ya, mungkin Mama masih dalam perjalanan," hibur Dinda pada Adel, salah satu muridnya.
Tiga puluh menit berlalu tak juga ada tanda-tanda Adel akan dijemput.

"Bu, tolong telponin Mama biar ceper jemput Adel."
Dinda segera mencari nomor wali Adel. Nada sambungan sibuk terus saja bergema. Sekali dua kali hingga berkali-kali telepon Karin, Mama Adel tak kunjung mendapat respon.

"Adel punya nomor lain?" tanya Dinda.
Tampak Adel mengobrak-ngabrik isi tasnya. Sebuah kertas akhirnya ia temukan. Segera diserahkan kertas tersebut kepada wali kelasnya.
Dinda kemudian segera mendial nomor yang tertera pada kartu nama yang diberikan Adel padanya.

Tut........ tut.......

Suara panggilan tak terjawab pun kembali hadir. Dinda merasa kecewa. Mungkin mengantar muridnya ke rumah adalah pilihan terakhir mengingat hari semakin siang dan ia masih harus mengajar les privat sebentar lagi.

"Adel pulang diantar Ibu saja ya?" tawarnya.

"Adel nggak mau pulang ke rumah. Maunya ke kantor Mama"
Dinda tahu Adel hanya tinggal di rumah bersama mamanya. Papa Adel mengelola perusahaan keluarga di Australia sehingga Adel jarang bertemu papanya. Sedangkan mamanya sendiri sibuk mengurusi perusahaan milik keluarga besarnya di Jakarta.

"Ibu tidak tahu alamat kantor Mama kamu, Adel," alasan Dinda.

"Alamatnya ada di kertas tadi. Mama bilang kantornya barengan sama Uncle De," selorohnya

Dinda memperhatikan kertas di tanganya. Mengenali alamat yang tertulis dan memutuskan akan mengantar ke alamat tersebut.

Tak berapa lama ia menghentikan taksi, menuju kantor Mama Adel tidak lebih dari tiga puluh menit. Sesampai di kantor Dinda, Adel disambut seorang satpam. Setelah diantar menuju sebuah ruangan yang disebutkan tadi, Dinda dan Adel duduk menunggu pintu terbuka karena sang sekretaris yang duduk dekat ruangan tersebut mengatakan jika orang yang tengah mereka cari sedang rapat.

Tidak beberapa lama kemudian Adel berteriak girang sambil berlari menghambur ke pelukan seorang wanita.

"Mama!" Adel berlari.

Karina, mama Adel menyambut pelukan anak semata wayangnya dengan tersenyum. Ditatapnya Dinda yang berdiri tak jauh dari mereka.

"Ibu Dinda, maaf sudah merepotkan. Mari, duduk dulu," tawar Karin sambil mempersilakan masuk dan duduk di ruangannya.

"Tadi saya menelpon tapi tidak diangkat. Makanya saya membawa langsung Adel ke sini," ucap Dinda.

"Saya mohon maaf tadi ada meeting. Dan terima kasih, Ibu sudah mengantarkan Adel ke sini."

Ceklek.

"Karin, aku butuh proposal tender kemaren."  Seorang laki-laki buru-buru masuk dan menghampiri Karin.Tampak Adel mendekati laki-laki itu sambil meminta mengangkat tubuh mungilnya. Namun laki-laki itu menggeleng, kemudian mendaratkan sebuah ciuman di pipi cubby milik Adel.
Tampak keduanya tertawa bahagia. Lesung pipi pemuda itu tercetak jelas membuat wajahnya yang tampan semakin mempesona.

Tak disadari dari arah samping laki-laki itu, seorang Dinda tengah memperhatikan kegiatan dua orang berbeda generasi sambil tersenyum simpul. Bahkan membuatnya tak berkedip, pasalnya wajah lelaki berlesung pipit yang tengah tersenyum itulah alasan Dinda tak berpindah pandangan sedari tadi.

Ia terpesona pada sosok itu. Sosok dengan setelan jas kerja yang tampak gagah, senyum yang menawan serta suara yang merdu. Aroma maskulin yang menyerang hidungnya terasa begitu memabukan.
Pandangan mereka akhirnya bertemu. Denis tersenyum ramah dan Dinda pun membalasnya. Ada perasaan senang teramat yang ia rasakan.

"Den, kenalin ini gurunya Adel, Bu Dinda," kenal Karin pada adiknya.
Tangan mereka saling menjabat. Senyum merekah pada bibir keduanya.

"Adinda."

"Denis."

Setelai berpamitan, Dinda segera keluar dari ruangan Karin. Senyum di wajahnya tak hilang jua. Hingga sampai di loby karena pikirannya masih mengingat kejadian bertemu Denis membuatnya tak begitu memperhatikan jalan.

Bruukk.

Kaki karin terpeleset lantai basah membuat pantatnya harus mencium lantai.
Sebuah tangan terulur hendak membantunya berdiri. Dengan meringis menahan sakit, ia pun berdiri dengan bantuan seorang laki-laki berseragam biru dan nama yang terjahit di sisi kanan baju khas OB, Rangga.

"Maaf, Mbak, tadi sudah saya peringati kalau lantainya basah. Eh, mbaknya nggak denger," ucap Rangga.

"Masak sih? Aduh pantatku sakit," ringis Dinda sambil mengusap pantatnya.

"Sini saya bantu, Mbak," tawar Rangga.

"Gila! Kurang ajar kamu mau pegang pantat saya!" geram Dinda

" Lah, siapa yang mau pegang pantat Mbak. Saya itu mau bantuin ambil buku Mbak yang tercecer," jelas Rangga sambil terkikik geli.

" Owh." Dinda merasa malu dengan kalimatnya sendiri

"Kalau bantuin ngusep pantat juga saya mau kok, Mbak," goda Rangga yang membuat Dinda membelalakan mata. Sejurus kemudian Dinda melayangkan tasnya ke arah Rangga yang masih tertawa geli.

Tas Dinda mengenai dada Rangga dan langsung dicekal tas miliknya. Tahu jika tasnya tengah ditarik oleh OB di hadapanya, membuat Dinda berbalik menarik tasnya juga. Dinda dengan sekuat tenaga menarik tasnya malah dibalas Rangga dengan melepas begitu saja. Alhasil tenaga Dinda yang kelewat besar tanpa balasan membuat tubuhnya ambruk ke belakang. Kakinya menyenggol timba berisi air sisa mengepel. Timba pun menumpahkan air dan membasahi baju Dinda.

"Sial!" pekik Dinda masih dalam posisi duduk dengan baju penuh air.

"Waduh, Mbak, basah. Mari saya bantu," tawar Rangga.

"Nggak usah!" teriak Dinda kesal.

"Huh, ya udah. Cantik-cantik galak!" Rangga berlalu dari hadapan Dinda yang masih terbakar emosi.

Sambil menahan malu ia keluar kantor tersebut dan segera menghentikan taksi.
Hari ini setelah mendapat bintang, sekaligus kejatuhan pula. Haduwh.

_____________
Repost, 2018








You Or YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang