Lima. (Itulah faktanya)

424 52 5
                                    

(Syira POV)

Aku berada di perpustakaan seorang diri, sebenarnya ada beberapa siswa-siswi di dalam perpustakaan. Namun, hanya saja aku biasanya ke sini bersama Rio, tapi ia sekarang tidak ikut denganku karena harus ke ruang guru yang membinanya untuk lomba melukis tingkat kota madya nanti.

Aku baru mengetahui akhir-akhir ini bahwa pria dingin itu ahli sekali melukis. Pantas saja saat itu ia mendatangi rak seni lukis. Ternyata, itu salah satu keahliannya. Sama dengan Arsyad.

Eh, sudah tiga hari aku tidak melihatnya. Ih, memangnya aku siapa, bisa setiap hari bertemunya? Aku cukup tahu diri kok untuk mengharapkannya.

Kurasakan hp-ku bergetar di dalam saku. Aku raih dan kulihat pesan masuk.

Radjendra Rio.

Lo masih di perpus? Bisa keluar dulu gak? Gue ada di luar nih.

Ck. Ganggu waktuku saja pria ini. Terpaksa aku harus menutup novel yang sedang asik aku baca, padahal sedikit lagi dapat konfliknya. Eh, pria ini malah menggangguku.

Aku keluar dari perpustakaan, dan mendapati Rio yang berdiri di balik pondasi perpustakaan, kini ia penuh dengan noda cat di tangan hingga seragamnya. "Kenapa gak masuk aja sih?" tanyaku.

Kulihat ia memincingkan matanya kesal. "Malulah gue kalo masuk ke dalem dengan kondisi kaya gini," ucapnya sedikit kesal. Terlihat sekali jika ia sedang kesal. Menggemaskan.

"Terus, urusan lo sama gue apa?"

"Sahabat macam apa lo ngomong kaya gitu? Gak pengertian banget,

"Tadi cet lukis gue tumpah sama anaknya bu Enik, 'kan ngeselin. Baju gue kena cet semua," lanjutnya. Wajahnya benar-benar menggemaskan kali ini.

"Terus?"

"Anterin gue balik, buat ganti baju,"

"Ogah."

"Please kek, gue malu nih."

Senenarnya apa hubungannya aku dengan malunya? Dia pulang naik motor, sama saja jika aku hanya membonceng. Tidak akan menutupi kemaluannya 'kan? Dasar bodoh.

"Sendiri gak bisa emang?"

Baru saja aku berucap seperti itu, tanganku langsung ditarik paksa olehnya. Ini pemaksaan namanya!

*

Tepat di depan pekarangan yang kutebak ini adalah rumahnya. Minimalis namun terlihat mewah.

Rio telah memarkirkan motornya sejak tadi. Kini, aku hanya mengikuti setiap langkahnya dari belakang. Meninggalkan pelajaran hanya untuk mengantarkan lelaki bodoh ini. Huh. Menyebalkan!

"Assalamua'laikum Bunda..."

Kudengar Rio berseru ketika memasuki rumah yang memang tidak terkunci. "Bundaku sayang ..."

Manis sekali, Rio memanggil bundanya dengan kata sayang. Baru kali ini aku melihat Rio manis seperti sekarang.

Tak lama wanita dengan tongkat ke luar dari kamar yang berada di sudut ruangan. Tersenyum manis ke arah kami.

Setelah mendekat, kuperhatikan. Dari atas sampai bawah aku mendapatkan ke kurangan dari wanita ini yang jelas pasti Bunda dari Rio.

Pantas saja mengenakan tongkat. Ternyata kakinya hilang satu setelah aku perhatikan sejak tadi. "Waa'laikum salam nak," balas Bunda Rio.

Kulihat Rio mencium punggung tangan Bundanya, lalu beralih ke kening Bundanya yang terlihat sudah mengkerut. Mengapa Rio semanis ini? Meleleh deh aku.

Cover Your Pain (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang