Dua hari ini aku benar-benar merasakan kebahagian yang sempat menghilang. Dia kembali untukku, kembali lagi dan berada di dekatku sekarang. Rasa bahagiaku tidak bisa dibayar oleh apa pun saat ini.
"Nanti kamu ikut aku yuk!" Berucap kepadanya yang sedari tadi hanya diam. Tidak ada ucapan-ucapan yang mendorong sesuatu untuk diriku seperti biasanya.
Menoleh ke arahnya yang masih fokus menatap kosong ke depan. "Kamu denger aku gak, Kak?" Ucapanku yang agak membesar tetap tidak dihiraukannya.
Menyenggol sisi bahunya pelan. "Hai Kak, kamu denger aku gak?" Mengulanginya lagi. Dia hanya menoleh lalu tersenyum.
Sepertinya Arsyad tidak fokus dengan pembicaraanku. Dan sepertinya Arsyad sedang tidak baik. Mencoba menyentuh pipinya. Dingin. Mencoba kembali menyentuh tangannya, dan sama saja terasa dingin.
"Kamu baik-baik aja?" Tanyaku.
Dia malah menepuk puncak kepalaku pelan. Tidak menjawab dan aku semakin tidak mengerti ia kenapa. Melihat ia yang sedang emijit pelipisnya dengan sesekali memejamkan matanya. Aku semakin tidak paham ada apa dengan dia dan apa yang dia rasakan sekarang.
"Kak, kamu gak papa?" Percuma saja aku terus bertanya, dia hanya diam dan tidak menjawab.
Jalannya melambat dan aku hanya mampu mengikuti lambat laun langkahnya. Diam. Sudah lelah aku bicara kepadanya yang hanya ditanggapi dengan angin yang berhembus. Bayangkan saja, siapa yang tidak kesal jika bertanya namun tidak kunjung dijawab?
Dia meraih tanganku, mengeratkan genggamannya dengan begitu kencang, aku menoleh ke arahnya yang sedang memejamkan mata seperti sedang menahan sesuatu. Jalannya begitu lambat dan bergoyang, perasaanku mulai tidak karuan. Semakin erat dan akhirnya tubuhnya bersandar di tubuhku. Berat, dan akhirnya ia terjatuh dengan mata terpejam. Rasa khawatir begitu memenuhi dadaku. Melihat ke belakang dan aku mendapati Rio juga Kak Vina, hanya mereka yang aku kenal. Memanggil mereka sekuat tenaga.
"Rio! Kak Vina!"
Mereka berdua langsung berlari kencang ke arahku. Tidak pernah mengerti mengapa Arsyad tiba-tiba seperti ini.
Perasaanku semakin kacau di kala Kak Vina memakiku, menyalahkanku bahkan sampai mendorong tubuhku hingga siku yang menjadi penopang tubuhku berdarah. Dia mengambil alih Arsyad dariku. Sempat tidak terima, namun sikuku sudah terlanjur sakit, begitu pun dengan Rio yang meluapkan emosinya akibat Kak Vina melukaiku.
Aku tau Rio sangat tidak terima jika aku diperlakukan seperti itu. Melihat kembali bagaimana Arsyad, ya Tuhan dia begitu pucat. Apakah dia sakit?
Rio membantuku berdiri, tetap berdiri di samping Rio sampai ada seorang gadis yang baru beranjak dewasa, menatapku dengan tatapan tajam dan melontarkan segala tuduhan yang menyakitkan begitupun fakta bahwa Arsyad sakit parah. Sakit parah? Semakin parah karenaku? Jadi, Arsyad berbohong kepadaku jika waktu lalu ia mengunjungi rumah neneknya? Kenapa?
Saat ini Kak Vina dan Adik Arsyad mencaciku dengan sesuatu yang tidak pernah aku tau. Saat ini pun hanya Rio yang mengertiku.
Mendekapku dengan sangat erat, menenangkan segala tangisku. Hingga sampai aku lelah dan tangis ini sudah selesai ia mengajakku untuk ke rumah sakit menemui Arsyad. Dia sudah aku sakiti tapi tetap saja peduli dengan perasaanku sampai saat ini.
***
Katakan apa yang lebih menyakitkan dari melihat orang yang kita sayang terbujur lemah di ruang steril dengan banyak alat-alat medis dengan begitu banyak fungsi? Katakan jika ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cover Your Pain (Completed)
Teen Fiction(Completed) "Aku akan menutupi rasa sakitmu semampuku, dan aku akan merasakan sakit jika kamu sakit. Tapi, apakah kamu seperti itu juga kepadaku?"-Arsyad. Ketika hati berkata iya namun raga mengatakan tidak. Lalu siapa yang akan menang? Hati atau Ra...