Sudah hari keempat Arsyad menghilang tanpa kabar, membuat Syira lelah untuk membuang air matanya. Hanya sekedar mengetahui di mana rumahnya saja tidak. Bagaimana keadaannya sekarang?
Jam pulang sudah tiba, namun seperti biasa gadis ini selalu saja pulang dengan waktu akhir. Bermalas-malasan? Sepertinya iya! Tapi kali ini ia tidak seorang diri, dia ditemani oleh Rio yang pasti sudah sangat akrab dengannya. Untuk menumpahkan seember air mata pun Syira santai saja.
"Masih gak ada kabar tentang Arsyad?" Rio bertanya seperti tidak niat. Nada bicara yang lemas dan disambilkan dengan jari-jemarinya yang sedang menari-nari di atas keyboard hitam laptop miliknya.
Syira hanya menggeleng, tidak peduli Rio tau atau tidak jika ia menjawab pertanyaan pria itu tanpa suara.
"Ditanyain bukannya jawab." Benarkan Rio tidak melihat Syira mengangguk? Ya, jelas matanya saja tidak beralih sedari tadi dari layar monitor yang menampilkan banyak tulisan.
Kelakuan Rio kali ini membuat mood Syira makin hancur. Menjatuhkan kepalanya di atas meja. Malas? Iya, tentu saja. Lelah? Jangan ditanya, hati dan raga Syira sangat lelah memikirkan Arsyad yang tidak kujung datang menemuinya.
Syira merasakan jika puncak kepalanya seperti ada yang menyentuh. Saking lembutnya sentuhan itu, Syira sampai memejamkan mata menikmatinya. Ya, siapa lagi kalau bukan pria itu yang membelai kepala Syira? Hantu? Itu tidak masuk ke dalam akal sehat manusia.
"Tidur aja kalau cape, gerbang sekolah ditutup jam 6." Rio berucap seolah sangat tau bagaimana karakteristik sekolah yang baru ia singgahi kurang lebih tiga bulan. Berbeda dengan Syira yang tidak mengetahui apa pun tentang sekolah ini. Ralat, bukan apa pun tapi sedikit tau, mungkin.
Satu tangan mengusap puncak kepala Syira, satu tangan lagi mengetik satu persatu kata membentuk kalimat untuk tugasnya bersama Syira -tugas kelompok-.
Syira hanya menikmati betapa lembut setiap sentuhan yang Rio berikan. Mengantuk? Tidak, Syira hanya merasa lelah dengan keadaan setiap harinya. Ya, seperti inilah hidup. Kadang senang, kadang sedih, tapi itulah hidup dengan cerita. Tidak akan ada cerita kalau semua berjalan dengan mulus tanpa hambatan.
"Apa gue mati aja biar semua rasa lelah ini hilang ya, Yo?" Syira berucap seperti orang baru sadar dari tidur dan lebih tepatnya ngelindur. Ucapan yang sangat tidak diinginkan jika harus menjadi kenyataan.
Rio, melepas semua kegiataannya termasuk mengusap puncak kepala Syira. Menegakkan duduknya seperti siap menahan serangan apa pun. Syira masih memejamkan mata dan kepalanya yang ditaruh di atas meja.
"Jangan cepet ngeluh sama keadaan. Ini namanya cobaan. Tuhan gak akan ngasih cobaan yang gak bisa dilalui sama umatnya," Rio selalu seperti itu, selalu memberi nasihat positif yang masuk ke dalam otak Syira yang akan segera kembali ke luar melewati mulut.
Rio melanjutkan kembali aktivitasnya namun menghilangkan satu, yaitu tidak lagi mengusap puncak kepala Syira. Kesal? Sepertinya. Syira selalu saja mengeluh akan hidupnya padahal cobaan yang ia alami belum seberat cobaan yang menimpa keluarga Rio beberapa tahun lalu.
Kejadian masa lalu Rio membuat dirinya tau akan kuatnya doa dan hati. Kejadian masa lalu itulah yang sangat membuat Rio paham bagaimana sakitnya kehilangan seseorang. Kenapa Rio selalu terlihat baik-baik saja? Kenapa Rio sanggup melihat gadis yang ia cintai bersama orang lain? Itu karena masa lalu yang mengajarkan ia rela melakukan apa pun demi yang terbaik. Jika saja bisa, mungkin Rio akan memberikan nyawanya untuk Ayahnya dan satu kakinya untuk Bundanya.
Syira bangkit dari kelesuhannya. Mengusap wajahnya kasar yang sekarang malah memperhatikan Rio yang masih sibuk. "Bisa ceritain ke gue gak, gimana Bunda lo bisa kaya gitu?" Ucapan Syira melemah di akhir kalimat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cover Your Pain (Completed)
Teen Fiction(Completed) "Aku akan menutupi rasa sakitmu semampuku, dan aku akan merasakan sakit jika kamu sakit. Tapi, apakah kamu seperti itu juga kepadaku?"-Arsyad. Ketika hati berkata iya namun raga mengatakan tidak. Lalu siapa yang akan menang? Hati atau Ra...