Empat. (Kenyataannya)

476 56 4
                                    

Matahari pagi menyorot jelas dua insan yang sedang duduk bersama. Kaca bening yang mengantarkan cahayanya mengenai dua insan tersebut.

Kecanggungan kini menguasai perasaan mereka. Pagi ini, tak ada celotehan Syira maupun dinginnya Rio, semua hampa.

"Materi konfigurasi elektron sampai sini dulu, terimakasih," ucap wanita setengah tua mengenakan jilbab, jelas sekali jika wanita itu adalah guru kimia di kelas sepuluh.

Sorak gembira terdengar jelas dari para siswa di kelas sepuluh enam ini. Pelajaran pembunuh telah usai dan terlewati dengan sempurna, untunglah guru kimia masih mempunyai hati.

Beda halnya dengan yang lain, kini Syira dan Rio hanya mampu diam memendam kecanggungan yang ada di antara mereka, mencoba berpikir bagaimana cara untuk memperbaiki suasana kali ini. Ego mereka menguasai semuanya hingga timbul rasa kecanggungan yang dibuat sendiri.

Masa gue sih yang harus negor Rio duluan? Jaga gengsilah gue sebagai perempuan. Ya kali gue yang maju duluan, emangnya dia gak cukup berani buat negor gue duluan? Umpat Syira dalam tunduknya kali ini.

Menghembuskan nafas berat yang sebelumnya sempat tertahan, tidak tahu mengapa perasaan Rio jadi sepengecut ini. Rio keluh, tak bisa menggerakkan bibirnya walau hati terus mengatakan berucaplah.

Hingga tanpa intruksi dari siapa pun, seperti suatu kontak yang mempunyai ikatan penuh. "Hai," suara Syira dan Rio menjadi satu mengucapkan tiga huruf sapaan tersebut.

Bukannya malah melanjutkan, kini keduanya malah salah tingkah tak karuan. Bagaimana semakin membaik? Permulaan saja mereka seperti ini. Nampak seperti bocah SMP yang baru bertemu teman baru. Memalukan.

"Syira, ada yang nyariin lo tuh!" seru seorang gadis seusia Syira yang jelas teman sekelasnya.

Syira diam sejenak lalu menganggukkan kepalanya. Rio hanya mampu mengernyitkan keningnya kasar.

Hanya selang beberapa detik, Syira beranjak dari duduknya meninggalkan Rio seorang diri. Di luar kelas Syira melihat sekeliling, jam istirahat membuat siswa-siswi banyak melintas di depan kelasnya. Syira kesulitan jika harus mencari siapa orang yang tadi mencarinya ditambah lagi temannya telah pergi entah ke mana.

Memanjangkan lehernya dan memantapkan pengelihatannya hingga sempat menyipitkan matanya. "Lo nyari siapa?"

Tanpa lama Syira menoleh ke belakang, oh ternyata Arsyad yang kemarin sempat membuat janji kepadanya akan mengembalikan peralatan menggambarnya kemarin. Mengapa Syira bisa lupa? Oh, atau mungkin memang sifat pelupanya telah akut?

Syira mengangguk pasrah seraya tersenyum kepada Arsyad. "Ini peralatan menggambar lo."

Syira meraih peralatan menggambarnya. "Makasih, Kak," ucap Syira berupaya ramah.

Yaampun mulai deh deg-degannya, padahalkan Arsyad cuma ngasih ini. Yaampun kampung banget sih gue. Rutuknya dalam hati.

Hening. Suasana yang sangat dibenci oleh siapa pun, tak ada yang berusaha berucap untuk memecahkan keheningan di antara mereka. Tidak mungkin 'kan jika Syira pergi meninggalkan Arsyad begitu saja? Bodoh jika itu sampai terjadi.

Arsyad terlihat bingung sama seperti Syira, keduanya bingung tak tahu harus bagaimana untuk memecahkan keheningan yang menyelimuti suasana mereka kali ini.

Jantung Syira terus berpacu tanpa henti. Gue kabur aja kali ya? ucapnya lagi di dalam benaknya. Pemikiran yang sangat bodoh, dia akan kabur? Itu hanya akan membuat image-nya di depan Arsyad buruk.

Hingga Arsyad pun mempunyai suatu hal yang mampu memecahkan keheningan di antara mereka. "Oh iya, gue ke sini gak cuma mau ngembaliin peralatan itu doang kok, tapi sekalian mau minta maaf secara langsung. Gue cupu banget ya pake surat-suratan segala. Ha ha kayak anak kecil aja ya gue? Maaf juga udah lancang nyoret-nyoret kertas lo. Tapi jujur gue emang gak berani ngomong langsung ke lo-" ucapan Arsyad terhenti ketika Syira membuka lebar matanya yang sekarang mengarah ke dirinya. Jelas Arsyad memberhentikan ucapannya, karena kini tatapan Syira benar membuatnya terbunuh.

Cover Your Pain (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang