Tidak seperti biasanya ia seperti itu. Aku tau ia masih digeluti rasa rindu kepada pria itu, tapi wajahnya kali ini terlihat sangat kusut dan bahkan wajahnya terlihat pucat pasih. Dan lagi-lagi tidak seperti biasanya, ia pergi meninggalkanku begitu saja.
Tidak mau jauh-jauh darinya. Mengikutinya berniat untuk mengawasi bukan untuk menguntit. Rasa khawatir akan dirinya benar-benar aku rasakan. Terfikir untuk membuatnya tersenyum. Melangkah menuju parkiran, mengendarai motor besar ini ke toko bunga dan supermarket. Aku kembali berfikir, melajukan motor ini dengan kecepatan maksimal dan akan mengikutinya kembali di pertengahan jalan.
"Yang mawar merah itu dong, Mba." Tertarik untuk menunjuk bungan mawar segar yang belum dihias menggunakan apa pun, masih utuh dengan duri dan daun-daun yang banyak.
"Terimakasih." Saat bunga itu ada di tanganku, bunga itu sudah rapih dihias oleh penjualnya. Durinya sudah di pangkas habis dan hanya disisakan beberapa daun kecil di sisi kelopak bunga mawar itu. Harum khas bunga segar masih sangat tercium.
Kembali melajukan motorku ke supermarket kecil, membeli coklat panjang tanpa hiasan. Melaju kembali untuk meninggalkan supermarket itu. Mempercepat laju motorku sendiri.
Aku berharap jika Syira masih dalam perjalanan belum sampai rumah. Tersenyum saat melihatnya tengah duduk sendiri. Ini kesempatanku. Namun, pria iti datang dan seakan mengubur hasratku dalam-dalam.
"Arsyad datang, selamat Syira." Gumamku seorang diri. Miris sekali.
Aku terus melihat apa yang mereka lakukan, tidak peduli dengan hati ini yang terus-menerus merasakan sakit sampai pada akhir. Seakan berhenti darah ini ketika melihat Arsyad mencium pipi Syira.
Meremas bunga mawar itu hingga hancur dan membuang coklat itu ke sembarang arah. Aku marah kepada Syira? Tidak. Aku benci kepada Arsyad? Tidak.
Aku hanya lelah dengan hati ini yang berusaha merelakan namun tidak pernah bisa.Melajukan kembali motorku berbalik arah. Sudah cukup. Aku tidak ingin melihat lagi.
***
Berfikir untuk tidak masuk sekolah karena pasti Syira akan menjadi gadis yang pendiam saat bersamaku akibat insiden semalam. Terlalu sakit melihatnya seperti itu. Mending tidak usah daripada harus terus merasa bersalah akan kejadian semalam.
Apakah hati ini tidak bisa bersikap bodoamat kepada gadis itu? Apakah harus terus seperti ini. Oh ayolah ubah hati ini.
Meremas rambutku kasar. "Argh!" Menggeram untuk semua masalah antar aku dan dia.
Sedari tadi aku benar-benar tidak fokus dengan setir motor ini, tapi untung saja takdir berkata kalau aku selamat sampai sekolah. Mungkin kalau tidak aku sudah kecelakaan dan aku berharap saat itu juga nyawaku dicabut oleh Tuhan.
Ini masih pagi tapi mata ini sudah menangkap pemandangan yang menambah rasa sakit ini. Cukup bersyukur karena gadis itu mengikuti apa kataku semalam untuk tidak menjauhi pria itu demi aku yang tersakiti. Meremas dadaku yang tertutupi baju ketika benar rasa sakit hati ini melihat Syira mampu tersenyum bahkan tertawa bersama Arsyad.
"Hai," suara seorang gadis yang baru saja menepuk pundakku. Berusaha tidak peduli namun penasaran juga sebenarnya.
Mengernyitkan keningku samar. Tidak pernah mengenal siapa dia tapi apa dia kenal denganku? "Siapa ya?" Tanyaku.
Kulihat ia menjulurkan tangannya ke arahku. "Vina,"
Membalas uluran tangannya ragu. "Rio." Balasku.
"Gue tau kok gimana sakitnya jadi lo liat mereka," Vina, ya itu nama gadis ini dan aku baru mengetahuinya sekarang. Sepertinya ia tau banyak tentang Syira dan Arsyad.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cover Your Pain (Completed)
Teen Fiction(Completed) "Aku akan menutupi rasa sakitmu semampuku, dan aku akan merasakan sakit jika kamu sakit. Tapi, apakah kamu seperti itu juga kepadaku?"-Arsyad. Ketika hati berkata iya namun raga mengatakan tidak. Lalu siapa yang akan menang? Hati atau Ra...