Aku benar-benar merasa puas karena hasil ujian semester satu di kelas sepuluhku ini mendapat hasil yang sangat-sangat memuaskan. Aku mengerti sekarang bahwa hati tidak akan pernah sanggup menghancurkan niat yang sejak dulu sudah tertanam.
"Congratulation, Yo," seruku seraya merangkul pundaknya yang lumayang tinggi hingga aku sedikit berjinjit.
"Makasih, lo juga selamat ya?" Rio terlihat begitu bahagia. Aku paham jika dia baru saja memenangkan lomba melukisnya kemarin dan sekarang sudah dikejutkan lagi dengan peringkat kelasnya yang sangat-sangat bagus.
Aku pun ikut bahagia melihatnya seperti itu. "Ikut jenguk Arsyad?" Tanyaku kembali kepadanya.
"Ikut dong."
Sudah tiga bulan lamanya Arsyad tertidur tanpa ada tanda-tanda jika ia akan bangun. Tiga bulan itu aku berubah menjadi sosok Syira yang kuat dan tidak banyak menangis. Setiap hari aku rutin menjenguknya walaupun hanya sekadar melihat, tidak untuk berbicang kepadanya.
Hari ini, hari di mana bunga di vas kamar rawatnya diganti dengan bunga baru. Niatku saat ini ingin mengajak Rio membeli satu buket bunga terlebih dahulu lalu pergi menuju rumah sakit.
"Gue kangen sama Arsyad," ucap Rio datar. Sumpah demi apa pun aku ingin tertawa saat ini, pasalnya baru kali ini ia berkata seperti itu.
Berjalan berdampingan dengannya menuju parkiran motor. Tampaknya ia melihat raut wajahku yang sedang menahan tawa.
"Mau ketawa jangan ditahan-tahan nanti ke luar dari bawah malah bahaya," perkataannya benar-benar tidak diayak, berucap sesuka hatinya.
"Sumpah gue kangen waktu Arsyad selalu bareng lo dan buat gue panas. Dulu tuh rasanya pengin cabik-cabik mukanya tapi sekarang gue malah kasian liat dia berbulan-bulan tidur kaya gitu terus tanpa perkembangan," lanjutnya.
Mendengar perkataan Rio membuat aku teringat di saat-saat bersamanya. Menangis bertengkar bersama Rio hanya karena kecemburuan Rio kepada Arsyad, itu bodoh tapi aku rindu. Andai saja saat-saat seperti itu bisa diulangi aku selalu ingin.
"Iya, lo aja kangen gimana gue?" Berusaha berucap dengan nada biasa-biasa saja walaupun hati ini meronta ingin semuanya kembali.
Rio menepuk puncak kepalaku pelan sebanyak dua tepukan. Tersenyum ke arahnya yang juga tersenyum ke arahku. Aku masih bersyukur bisa memilikinya di saat seperti ini. Untung saja dia bukan sosok pria yang egois, yang sedikit-sedikit marah hanya karena sakit hati. Rio my superhero.
"Gue yakin Arsyad pasti kangen juga sama kita," balasannya benar-benar membangkitkan keterpurukanku sesaat tadi.
"Iya, itu pasti," balasku kembali.
Ternyata langkah kita tidak begitu terasa jika diselingi obrolan-obrolan 'asyik'. Tepat di mana motor Rio terparkir bersama motor-motor lain. Berhasil keluar dari barisan, lalu aku menaikinya.
"Beli bunga dulu ya?"
"Siap."
Rio sudah paham kalau aku sering membeli bunga setiap menjenguk Arsyad.
***
Selalu menampilkan senyuman kepada suster-suster di rumah sakit ini. Mungkin begitu seringnya aku ke sini, mereka jadi mengenaliku dan tidak sedikit juga yang menyapaku dengan sebutan nama. Bahagianya bisa dikenal banyak orang.
Menciumi harum bunga yang sedang aku pegang. Berjalan cepat karena aku sudah benar-benar rindu akan sosoknya. Rio masih setia berada di sampingku. Dan oh iya, Rio juga termasuk sering menjenguk Arsyad dengan alasan ingin melihat Amanda, dan tidak cuma-cuma menjenguk Arsyad. Sepertinya aku bisa mulai lega karena Rio sudah bisa mencintai orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cover Your Pain (Completed)
Teen Fiction(Completed) "Aku akan menutupi rasa sakitmu semampuku, dan aku akan merasakan sakit jika kamu sakit. Tapi, apakah kamu seperti itu juga kepadaku?"-Arsyad. Ketika hati berkata iya namun raga mengatakan tidak. Lalu siapa yang akan menang? Hati atau Ra...