Epilog.

415 25 2
                                    

Empat tahun sudah ia pergi meninggalkanku. Empat tahun sudah aku hidup tanpanya. Awalnya aku kira bahwa aku tidak bisa hidup tanpanya di sisiku, tapi semua itu salah. Saat ini adalah buktinya, bukti bahwa aku mampu hidup tanpanya. Banyak pelajaran yang aku dapat selama empat tahun tanpanya.

Apa pun yang kita cinta, cepat atau lambat semua pasti akan hilang dari jangkauan kita. Dan di situ adalah suatu pembelajaran yang begitu berarti. Melepaskan yang hanya sesaat untuk kita, itu luar biasa.

"Happy Birthday, Syira!!" Suara itu mengejutkanku. Dia, dia, dan dia yang sejak dulu mampu membuatku seperti ini.

Kami berdua kembali merasakan saat di masa SMA kelas satu. Berada di rooftop menikmati malam yang indah di kota kembang ini. Hari ini memang hari ulang tahunku, tapi aku sendiri malah baru ingat ketika Rio mengucapkannya tadi.

"Makasih ya, Rio," ucapku menatapnya yang sekarang berada di sampingku.

Dulu, aku pikir ia menyukai Amanda. Ternyata tidak, Rio hanya menganggap Amanda sebagai adik dan sebaliknya Amanda menganggapnya sebagai kakak. Dua tahun lalu pria ini menyatakan ulang perasaannya di depan teman-temanku. Aku tetap tidak memedulikannya saat itu, karena hatiku masih menyimpan perasaan untuk 'dia'.

Kak Vina sudah menikah beberapa tahun yang lalu, dia aslinya baik. Aku paham jika ia pernah mengalami yang namanya 'cinta buta'.

"Besok ada acara?" Dia bertanya seperti itu. Aku termasuk gadis yang peka, jadi aku tau kalau dia ingin apa.

Hanya menggeleng untuk menanggapinya. "Gue jemput lo jam delapan malam besok. Oke?" tukasnya.

"Mau ke mana?"

"Ke mana-mana dong." Kebiasaan selalu meledek. Bagaimana bisa dianggap serius jika setiap hari kerjaannya selalu meledek orang lain.

***

Aku telah siap dengan janjinya kemarin. Rio bilang ingin menjemputku jam delapan malam, aku pun sudah siap dengan dress selutut berwarna biru muda. Kali-kali aku seperti layaknya seorang wanita sungguhan bukan menjadi sosok gadis yang tomboy.

"Anak Mama cantik banget, mau ke mana sih?" Mama datang saat aku sedang merapihkan make up di wajah. Membuatku sedikit tersentak kaget.

"Eh Mama, aku mau pergi sama Rio boleh, 'kan?" Sengaja baru izin sekarang karena aku tahu Mama pasti akan mengizinkanku ke mana saja bila bersama Rio. Mama telah menganggap Rio sebagai penjagaku.

"Boleh dong," ucapnya seraya menyisiri rambut panjangku. Sedikit memberi lekukan-lekukan di rambutku.

Suara ketukan pintu tidak lama kami dengar, itu pasti Rio. Meraih flatshoes yang berada di sudut kamar. Menentengnya, namun dengan cepat Mama mencegahku. "Dipakai flatshoes-nya. Masa udah cantik ketemu prianya malah nyeker. Malu-maluin." Yang benar saja, Mama bilang aku malu-maluin.

Aku menuruti apa perkataannyan, memakai flatshoes dengan warna yang senada dengan dress-ku lalu keluar kamar menghampiri Rio yang sudah berada di depan pastinya.

Entah kenapa aku merasa begitu senang malam ini. "Rio!" Aku mengucapkan namanya dengan nada yang cukup keras. Berupaya mengagetinya dan berhasil.

Rio hanya tersenyum. Oh ya ampun pria ini wangi sekali, tidak seperti biasanya. "Udah siap?" Kenapa nada bicaranya seperti menggoda gitu sih? Aku kan jadi malu.

Hanya mengangguk dengan wajah yang tersipu. Kuharap semburat merah ini tertutupi oleh make up yang kupoles tadi.

Rio mengedipkan satu matanya, tapi bukan kepadaku tapi ke belakangku. Menoleh ke belakang dan ternyata ada Mama, jadi Rio memberi kedipan untuk Mama? Ada apa? Kenapa aku jadi ambigu gini?

Cover Your Pain (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang