Dua Puluh. (Perasaan)

233 21 0
                                    

Membuka matanya perlahan, melihat cahaya lampu yang sangat menohok kelopak matanya begitu pun dengan lidahnya yang terasa begitu pahit. Tidak hanya itu, rasa-rasa seperti pusing dan mual sudah tidak ia rasakan. Ruangan serba putih menghiasi kamar ini. Kamar?

Syira, mencari sesuatu untuk mengenali kamar berukuran sedang ini. Ini bukan kamarku. Umpatnya dalam hati.

Suara pintu terbuka mengalihkan pandangannya yang liar seakan menatap langsung kesatu titik. Rio, datang dengan wajah tersenyum menghampiri Syira dengan plastik hitam yang ia pegang.

"Gue di rumah sakit?" Suara Syira terdengar begitu serak.

Hanya tersenyum demi menanggapi ucapan Syira. Membuka plastik hitam yang terdapat tempat makan biru yang sangat Syira kenali.

"Lo harus makan, tadi Bunda gue ke sini jenguk lo dan bawain bubur ini. Dimakan yuk." Rio begitu teliti untuk mengucapkan setiap kata membentuk kalimat. Terdengar begitu rapi dan lembut sehingga dapat menimbulkan rasa bahagia sendiri untuk Syira saat bersamanya.

"Mama gue mana? Lo hubungin dia gak?"

"Mama lo udah dateng terus balik lagi, nih bawain buah terus katanya nanti sore Mama lo dateng lagi. Semua nitip lo ke gue, jadi please jangan nyusahin gue." Dengan nada bicara dan delik-delik matanya terlihat sekali jika Rio sedang berusaha mengasyikkan suasana dan membuat Syira seakan lupa dengan Arsyad.

Rio menjulurkan satu sendok bubur ke Syira yang masih berbaring. Syira tidak mampu munafik dengan rasa laparnya saat ini. Tersenyum lalu membuka mulutnya lebar-lebar.

"Gimana bubur buatan Bunda?" tanya Rio ketika satu sendok bubur itu baru saja masuk ke dalam mulut Syira.

"Enak," balas Syira di tengah kunyahnya.

"Besok besok jangan kaya gini lagi ya? Bikin panik," ucapan Rio memberhentikan kunyahan Syira.

Menatap Rio dengan matanya yang masih terlihat sedikit membengkak. Kembali mengunyahnya perlahan. Dan berkata, "Arsyad gimana?"

Ini yang Rio takutkan, takut jika nanti ia salah bicara dan membuat gadis ini kembali menangis dan tidak akan lekas sembuh nantinya. Menggaruk tengkuknya yang tidak gatal seperti sedang mencari-cari sesuatu untuk menjawab pertanyaan Syira.

"Lo tenang aja gue gak akan nangis kok, udah cape." Syira menyambar cepat sebelum Rio menjawab pertanyaan yang sebelumnya.

Rio tersenyum puas saat Syira berucap seperti itu. Kembali melakukan aktifitas sebelumnya.

***

"Kakak harus bangun," Amanda berada di sisi ranjang tempat Arsyad berbaring dengan alat-alat medis yang ia sendiri tidak tahu apa saja kegunaannya.

Menggenggam tangan kakaknya yang tidak dipasangi selang infus, dengan sesekali menciumi tangan kakaknya penuh harapan. Untuk menangis pun semuanya sudah sangat lelah termasuk Amanda.

"Ibu, Kak Syira, aku, Kak Vina, sama siapa itu Kak yang cowok, yang sering sama Kak Syira? Dia ganteng ya? Hm, dia juga kayanya khawatir deh sama Kakak." Berucap panjang lebar kepada orang yang tidak bisa mendengarkan ucapannya. Jangankan menjawab atau membalas ucapannya, mendengar pun tidak.

Amanda tersadar dari kebodohannya. Menaruh tangan Arsyad pelan di sisi tubuhnya. Membentukkan tangannya seperti huruf 'v' untuk menopang dagunya lalu mengerjapkan matanya dan siap menatap Arsyad tanpa berkedip.

"Andai kamu tau, Kak. Aku udah nyakitin satu Amanda-nya kamu, aku minta maaf ya?" Lagi-lagi berucap, dan kali ini hanya suara monitor detak jantung yang berbunyi.

Lama sudah Amanda menatap nanar kakaknya sendiri. Tidak ada apa pun yang dapat Amanda lakukan. Untuk mencubit tangan Arsyad agar menjerit sakit pun itu tidak akan terjadi. Rasa bosan telah memenuhi perasaannya. Beranjak dari duduknya lalu berjalan ingin keluar ruangan.

Cover Your Pain (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang