Empat Belas. (Menghilang dan Berubah)

230 28 1
                                    

(Syira POV)

Aku sudah siap dengan seragam sekolah. Menunggu kebiasaan yang baru akhir-akhir ini. Biasanya pria itu mendatangi rumahku pagi-pagi sekali, tapi ini sudah pukul 06:45 ia belum juga datang. Pagi ini aku benar-benar mengharapkan sesuatu yang tidak pasti, mengharapkan ia yang bukan siapa-siapaku datang menjemput.

Aku benar-benar seperti orang bodoh jika terus-terusan seperti ini. Membuang-buang waktu yang sangat tidak jelas apa artinya. Lebih baik aku pergi ke sekolah seorang diri dari pada harus terlambat masuk sekolah demi menunggu pria itu.

"Ma, aku berangkat. Assalamua'laikum." Ucapku setengah berteriak karena Mama sedang berada di dalam menjahit pola yang semalam baru saja dikerjakan bersama hingga larut.

Jam delapan malam aku baru pulang di antar oleh Kak Nia. Aku kira Mama akan khawatir denganku dan akan memarahiku tapi, semua perkiraanku berbalik 180 derajat. Mama bersikap biasa saja seperti biasa, tidak ada tatapan mematikan atau pun pertanyaan-pertanyaan mematikan. Saat aku pulang dan cepat membersihkan diri, aku membantu Mama yang sangat terlihat repot membuat pola pesanan pelanggan hingga larut malam.

Berjalan seorang diri yang hanya di iringi suara burung yang berkicauan tanpa lelah. Ini lebih baik, jadi aku tidak merasakan seperti benar-benar kesepian.

"Huaa!" Aku menguap padahal masih pagi. Aku benar-benar merasa sangat lelah kemarin dan sekarang merasakan sangat kurang istirahat.

Lukaku sudah di obati dan sekarang sudah tertutup oleh kain kasa dan plester, itu karena Rio yang memintaku mengobatinya. Itu salah satu syarat agar aku boleh pulang. Menyebalkan sekali 'kan?

Benar-benar tidak aku rasakan, kini langkahku sudah membawa aku ke depan gerbang sekolah yang tersisa sedikit ruang terbuka untuk masuk. Kalau saja aku masih tetap menunggu Arsyad lima menit saja, mungkin aku sudah tidak bisa masuk sekarang karena gerbang akan tertutup rapat-rapat.

"Pagi, Pak." Ucapku kepada satpam gendut yang kemarin aku bohongi. Kira-kira dia masih mengingatku tidak ya?

Satpam itu terlihat mengernyitkan keningnya. Aku tersenyum sekali lagi kearahnya sebelum melangkah maju menjauhinya. "Eh iya, neng. Gimana tangannya? Udah sembuh belum?" Ternyata satpam ini masih mengingatku.

"Gimana sih Pak satpam, 'kan lukanya baru kemarin masa sekarang udah sembuh aja. Masih proses penyembuhan, Pak." Ucapku di lanjutkan kekehan.

Satpam ini benar-benar sangat polos kalau di lihat-lihat. Besok-besok coba aku kerjai lagi dia. Badan doang besar tapi fikirannya sangat mudah di mainkan. "Oh iya, cepet sembuh ya?"

Aku mengacungkan jempolku satu kearahnya. "Sip, terimakasih selamat bertugas, Pak."

Tanpa menunggu tanggapan satpam itu, aku langsung melanjutkan langkahku cepat. Aku harap Rio sudah masuk sekolah karena jika tidak ada dia aku benar-benar merasakan sepi di dalam kelas.

Hati ini benar-benar terasa lega sekali, seperti ada udara yang menyapu bersih setiap kegundahanku pagi ini. Melihatnya kembali ke sekolah dengan wajah yang segar membuat siapa pun ingin tersenyum terus menerus melihatnya termasuk diriku.

Berlari kecil menghampirinya. Ia memberikan senyumannya kepadaku, oh ayolah kamu sangat tampan jika seperti itu, Rio. "Selamat pagi." Seruku tepat di hadapannya.

Senyuman dingin yang sangat khas benar-benar membuat tubuh ini melemas ingin berhambur kedalam pelukannya seperti semalam. Bangun Syira, ini bukan lagi saatnya untuk membayangkan hal-hal yang konyol.

"Pagi, Ra. Your look so happy?" Sejak kapan Rio seperti ini kepadaku? Biasanya pria ini selalu masa bodo dengan apa yang aku lakukan.

"Yes, i'm very happy because ...," sengaja menggantungkan kalimat itu, agar pria ini penasaran.

Cover Your Pain (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang