Chapter 8

11.3K 651 6
                                    

Di dalam taksi, Harrolds tak bisa diam. Membuat Quill menggigit bibirnya gelisah. Dia ingat, penderita ADHD tak akan bisa bersantai ataupun diam terlalu lama. Itulah mengapa, dirinya memaklumi jika Harrolds memaju mundurkan kursi putarnya jika berada di rumah.

Maka, ketika mereka sudah di dalam rumah. Quill tidak langsung merebahkan tubuhnya yang lelah karena di perjalanan. Dia dengan segera menarik Harrolds duduk di lantai kamar dengan koper-koper di dekat mereka.

"Ayo kita rapikan sama-sama", Quill tersenyum riang. Dalam hati, dia berdo'a agar hal ini bisa menjadi terapi yang bagus untuk suaminya itu. Menyelesaikan lipatan baju, misalnya. Walaupun bagi orang awam itu adalah hal yang biasa. Tetapi tidak bagi Harrolds.

Karena penderita ADHD, akan sangat sulit untuk menyelesaikan sesuatu hingga akhir. Mereka, sering teralihkan oleh suatu hal dengan cepat.

Harrolds mulai membuka koper mereka. Lalu melipat beberapa baju. Namun, baru sepuluh menit mereka duduk. Harrolds sudah berhenti. Quill yang melihat itu, hanya diam memandangnya. Menunggu apa yang akan di lakukan selanjutnya oleh suaminya itu.

Quill menahan pergelangan tangan Harrolds, ketika pria itu mulai beranjak menuju kursi putarnya. "Selesaikan ini dulu, kumohon"

Harrolds diam, lalu perlahan melepaskan genggaman Quill. Berlalu dan duduk di atas kursi putarnya. Memaju mundurkannya seperti biasa.

Melihat itu, Quill tersenyum miris. Bukan karena pekerjaannya masih banyak. Tapi karena suaminya, menghentikan pekerjaannya.

"Tapi dia sudah berusaha, Quill. Perlahan-lahan saja." Quill mencoba berpikir positif.

Quill lalu keluar kamar, mencari kursi putar lainnya di rumah ini. Lalu mendorongnya ke kamar di sebelah Harrolds dan duduk di sana. Menyamakan irama maju-mundur nya.

"Asik juga," Quill tersenyum hingga menampilkan gigi-giginya. "Jadi, Mr. Harrolds, sudah berapa lama anda melakukan hobi seperti ini?"

Quill bertanya dengan wajah yang dibuat-buat serius serta menodongkan kepalan tangannya ke mulut Harrolds. Bersikap seperti wartawan yang sedang mewawancarai seorang artis.

Harrolds terkekeh sebentar, melihat aksi istrinya.

Pria itu mendekatkan kursinya ke arah Quill. Lalu tangannya menarik tubuh mungilnya. Mengangkatnya, lalu membaliknya ke arah depan. Hingga terpangku sempurna di atas pahanya. Sedangkan istrinya itu hanya membelalakkan matanya, cukup terkejut. Jantungnya bahkan serasa ingin meledak.

Padahal, belum lama ini, dia berada di posisi ini juga. Bedanya, dulu Quill yang berinisiatif sendiri untuk duduk di pangkuan Harrolds.

Quill menelan salivanya kasar ketika tangan Harrolds mulai masuk ke balik kaos nya. Meraba perut datarnya dan mendekatkan mulutnya ke telinga Quill. Lalu, lidah nya menjilat daun telinganya perlahan. Memberikan efek yang membuat Quill semakin merasa jantungnya berpacu lebih cepat.

"Quill."

"Y-ya?"

"Bagaimana kalau kita memiliki anak?"

"E-eh?"

Bukannya tidak mau. Quill hanya merasa terkejut. Kemarin, saat bulan madu. Ketika Quill memberikan kode keras pada Harrolds tentang anak, suaminya itu terlewat sangat acuh. Seakan-akan tidak menginginkannya.

"Kenapa? Kau belum siap?" Harrolds mendesah kecewa. Lalu menghentikan aktifitas nya di tubuh Quill.

Buru-buru Quill memutar kepala dan sedikit tubuhnya. Menangkup rahang Harrolds, lalu menatap suaminya itu dengan mata berbinar.

"Tentu. Tentu aku mau Harrolds. Istri mana yang tidak menginginkan seorang anak?" Quill memeluk leher Harrolds.

"Nah, bagus. Kalau begitu, kita mulai saja prosesnya sekarang." Harrolds menyeringai. Membuat Quill kembali menelan salivanya kasar.

***

Paginya, Quill terbangun karena mendengar suara hentaman benda keras di lantai. Menyadari Harrolds tidak ada di sebelahnya, Quill langsung bangkit memakai selimut. Tidak memperdulikan bagian selangkangannya yang masih sakit.

Untuk sesaat, Quill terperangah. Melihat sekitar dapur dan meja makan sudah berantakan. Bahkan, kursi meja makan ada yang terbalik jauh dari tempat yang seharusnya.

Quill menutup mulut dengan tangan kanannya, tidak peduli bahwa sekarang tubuhnya telanjang bulat karena selimut yang melorot.

Dan ketika Harrolds ingin menghempaskan kursi lainnya, Quill segera berlari. Memeluk suaminya dari belakang.

"Hentikan, Harrolds. Hentikan!" Quill mulai terisak.

Harrolds mulai meronta, mencoba mendorong tubuh istrinya.

"Kumohon hentikan!"

Dengan emosi yang masih meluap, Harrolds menyikut dan mendorong tubuh Quill kasar. Hingga tubuhnya jatuh dengan keras ke ujung lemari es.

"Harrolds..."

Quill merintih kesakitan sambil memegang siku serta kepalanya yang terbentur. Matanya memandang Harrolds nanar.

Sakit di tubuhnya tidak seberapa jika dibandingkan hatinya yang terasa teriris. Marah? Tidak. Quill tidak marah dengan perlakuan suaminya. Quill hanya merasa sedih. Sedih karena penyakit suaminya. Yang menyebabkan emosinya tidak terkendali.

Perlahan, Quill bangkit lagi. Berjalan menghadap suaminya, tangannya terulur. Memaksa Harrolds untuk menatapnya. Lalu perlahan, Quill melumat bibir Harrolds lembut. Bahkan ciuman mereka terasa asin karena air mata Quill.

Dan perlahan, tubuh Harrolds mulai rileks. Nafasnya sudah mulai teratur.

Beberapa saat kemudian, Quill melepaskan pagutannya. Harrolds memandang Quill nanar, merasa bersalah. "Quill.. aku.."

Quill hanya menggeleng sambil tersenyum. "Tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa"

Kembali, Quill menangkup rahang Harrolds. Dan mengecup bibirnya tiada henti.

***

Maaf, rada gantung di ending chapter ini. Mungkin, di Chapter berikutnya.. baru aku ngejelasin kenapa Harrolds tiba-tiba jadi kaya gitu._.


My Freak HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang