Chapter 9

11.2K 619 0
                                    

Dengan mata berkaca-kaca, Quill melepaskan satu-persatu kancing kemeja Harrolds perlahan.

Sedangkan Harrolds, mengusap lembut bahu telanjang Quill. Dan mengarahkan bibirnya untuk melumat mulut Quill yang sedikit terbuka.

Entah siapa yang memulai, namun kini keduanya tengah berada di atas kasur. Quill memeluk tubuh Harrolds yang menindihnya, jemarinya meremas sedikit di bagian punggung pria itu.

Tak lama, jemari itu berpindah. Mereka saling menautkan tangan ketika Harrolds mulai memasukinya.

Quill menatap dalam mata Harrolds, begitupun sebaliknya. Dan dia, dapat merasakan deru nafas hangat yang keluar dari mulut pria itu.

Perlahan, jemari tangan kiri Quill menyentuh pipi sebelah kanan Harrolds sembari memejamkan matanya ketika pelepasan itu terjadi.

Lelaki itu, dengan perlahan menyelipkan rambut Quill ke belakang telinganya. Mengelus pelipis wanitanya itu dengan lembut.

"Maafkan aku."

"Tidak, Harrolds. Aku sudah bilang. Aku tidak apa-apa." Quill tersenyum lembut.

"Tadinya, aku ingin membuatkan mu sarapan. Tapi, aku tak menemukan garam dan minyak sayur."

"Karena itu?"

"Ya, hanya karena itu."

Lagi, Quill tersenyum. Harrolds mungkin memiliki penyakit itu di dirinya. Membuat hal yang sepele, bisa menjadi besar dan membakar dirinya sendiri dengan emosi yang tak terkendali. Tapi Quill dapat memaklumi itu.

Harrolds, selalu memiliki alasannya tersendiri. Yang mungkin, tak begitu di pahaminya.

Satu yang Quill yakini. Bahwa suaminya, tak berniat sedikitpun untuk menyakitinya. Itu sudah cukup, ya cukup.

***

Quill memang baru berumur 18 tahun. Tapi, dia sudah sadar akan posisinya sebagai istri dan situasi pernikahan yang dihadapinya. Quill tak ingin membiarkan Harrolds sendirian terlalu lama saat dia di luar rumah selain untuk kuliah.

Jadi, setelah bernegosiasi dengan Harrolds kemarin, selepas penyatuan tubuh mereka. Quill mendapatkan sebuah ruangan kosong yang hanya dimilikinya. Berada tepat di samping garasi agar memudahkannya mengeluarkan hasil barang jadinya.

Ngomong-ngomong soal barang jadi, Quill berencana menjadi seorang perancang perabot. Dia pernah mengunjungi perusahaan mebel dan furniture di Jepara, Jawa Tengah, Indonesia dan belajar sedikit-sedikit tentang cara menggunakan alat-alat yang diperlukan.

Nah, kalau dulu dia hanya bisa menggambar sketsanya. Lain halnya dengan sekarang.

Harrolds, mempermudah segalanya. Bahan serta alat-alat yang dibutuhkan Quill sudah tersedia. Sekarang, Quill baru menyadari bahwa suaminya itu memang benar-benar kaya. Hanya dengan beberapa kalimat dari telpon genggam. Para pekerja sudah berdatangan mengantarkan pesanan nya.

Quill mengambil apron yang tergantung di sebelah pintu. Serta buku sketsa yang isinya belum di praktekkan satupun olehnya.

Dia mengukur, melihat setiap sudut dengan teliti, dan mulai membuat potongan-potongan kayu sesuai dengan buku sketsanya menggunakan gergaji.

Pekerjaan laki-laki. Ya, dia tau itu. Tapi mau bagaimana lagi, dia memang menyukai hal ini sejak lama. Dan untung saja, Harrolds sangat mendukung keinginannya, dengan syarat dia harus selalu berhati-hati.

Quill kemudian menggunakan mesin Jointer dengan konsentrasi tinggi. Agar menjadikan kayu lebih halus. Lalu, dimulailah proses pengeboran lubang kontruksi.

Setelah semua kayu sudah di buat sesuai mal dan dibentuk, proses selanjutnya adalah menyatukan semua kontruksi yang telah dibuatnya sesuai kode pembuatan mal.

Entah sudah berapa lama Quill di ruang kerja barunya ini. Tapi, ketika Harrolds mengetuk dan masuk untuk melihat hasil pekerjaan istrinya. Quill tersenyum bangga. Jemarinya mengetuk alas duduk kursi sederhana yang di buatnya. Dan setelah selesai, barulah dia menghampiri Harrolds.

"Sudah selesai? Secepat ini?" Harrolds keheranan.

"Belum uji coba."

Perlahan, Quill mendorong Harrolds menuju kursi itu.

"Dan kamu harus jadi kelinci percobaan," Quill mengulum senyumnya.

"Kau yakin ini sudah aman?" goda Harrolds. Dan dengan secepat kilat, Quill memukul pantat suaminya itu dengan keras lalu mendudukkannya paksa di sana.

"Coba kamu letakkan tanganmu di sandaran lengan kursi," perintah Quill.

Suaminya itu menurut, lalu tersenyum.

"Ini nyaman, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil."

"Memang. Aku membuat ini khusus untukmu. Dengan ukuran tubuhmu." Quill dengan bangga mengatakannya. "Suatu kehormatan bagiku, menjadi pemilik pertama hasil karya tanganmu nyonya Paige."

"Yup!"

Harrolds beranjak, mengangkat tubuh Quill di bahu kanannya dengan cepat.

"Ya! Harrolds Paige! Apa yang kau lakukan!"

"Kau harus makan!" tegas Harrolds tiba-tiba.

Dan barulah Quill tersadar, dia melewatkan jam makan siang. Bahkan hari sudah menjelang malam. Dia terlalu senang melakukan pekerjaannya hingga melupakan kewajibannya sebagai seorang istri.

"Lain kali, aku harus memasang alarm saat jam makan siang!" Quill bertekad.

***

Masih nyambung gak ceritanya?

Aku ragu buat nge post bagian ini soalnya T.T


My Freak HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang