9 Januari 2015

6.5K 1K 41
                                    

D i a P r a j a



Prajaka: Lo kemaren nggak pulang?

Itu lah pesan dari Praja yang Hara terima pagi hari ini. Rasanya ia benar-benar merasakan nafasnya begitu berat kala di hembuskan. Lagi pula, tau darimana Praja soal itu?

Kemarin pukul lima pagi Hugo mengantarkan Hara pulang.

Hara menyentuh kenop pintunya ragu. Di belakangnya, Hugo masih berdiri. Kemudian, Hara memutar balik badannya dan menatap Hugo. "Kamu mau masuk?" tanya Hara.

"Aneh bertamu pagi-pagi. Tapi kalau kamu maksa, yaudah."

Hara memutar bola matanya. "Nggak ada yang maksa sih."

Tawa Hugo berderai. "Yaudah. Nggak enak juga, nanti kalau orang tua kamu butuh klarifikasi, telfon aja." Ia kembali tertawa karena ucapannya yang terdengar terlalu berat.

"Yaudah. Hati-hati."

"Besok aku ke kampus kamu." Hugo pun memutar balik badannya dan segera melangkah menuju keluar pekarangan rumah Hara. Tanpa menunggu Hara menolak atau mengiyakan ucapannya tersebut.

Pandangan Hara beralih ke arah parkiran yang berada tidak begitu jauh dari kantin. Tepatnya, sekarang ia tengah berada di kantin dengan Kyra dan juga pacarnya.

"Nungguin siapa sih, mbak?" suara Kyra mengintrupsi Hara yang ternyata tidak menyadari kalau pandangannya tidak teralih dari area parkiran tersebut.

Hara segera menggeleng cepat. "Nggak ada."

"Ooh, anak SMA yang waktu itu?" kini pacar Kyra tersebut bersuara, ya Hara lupa terus siapa namanya. Dan rupanya, semua orang kini tahu kejadian waktu itu.

"Terserah mau nyebutnya apa aja sih," jawab Hara lalu beralih menatap makan siangnya hari ini.

Dua orang di hadapannya pun saling bertukar pandang dan menahan tawanya masing-masing.

"Hara."

Suara lain kembali menginterupsi Hara. Namun Hara tahu suaranya sangat tidak asing di telinganya. Ia segera mendangak dan melihat siapa orang itu. Lantas, ia nampak sedikit terkejut saat mendapati Praja tengah berdiri di sampingnya.

"Praja?" ucap Hara, alisnya pun bertaut. Bingung.

"Kita harus ngomong," ucapnya langsung tanpa berbasa-basi terlebih dahulu. "Gue ada kelas abis ini. Nggak bisa lama-lama."

Hara sempat melirik Kyra dan juga pacarnya yang menampilkan ekspresi sama bingung-kagetnya juga. Tapi, Hara mengangguk mengiyakan. "Bentar, Ra." ucap Hara lalu beranjak berdiri.

Praja berjalan lebih dahulu di depan. Hara hanya mengikutinya dari belakang, sampai akhirnya langkah Praja berhenti tepat sebelum ia memasuki area parkiran.

"Jadi ...?" Hara langsung bersuara.

"Lo baca sms gue kan?" tanya Praja. Tatapannya kini sangat serius. Hara terkadang takut dengan pandangan Praja seperti ini.

Hara mengangguk. "Udah. Tapi, apa yang perlu dibahas?" tanya Hara.

"Hugo?" Praja menyebutkan nama itu. Darimana Praja tahu? –"Hana." ah, tidak harus bertanya lagi 'siapa', Hara udah tahu jawabannya.

"Temen. Temen sekolahnya Hana juga." jawab Hara acuh tak acuh.

Praja menghembuskan nafasnya. "Katanya lo nggak pulang karena ikut festival. Festival apa sih?"

"Gini ya, Ja. Gue jujur aja ke lo. Karena, nggak ada alesan juga buat nutupin dari lo kan?"

"Yaudah, apa?" Kini tatapan Praja nampak lebih tenang.

"Iya gue ikut Festival. Tapi, itu kayak festival kampus atau semacamnya juga, standar. Gue ... mimisan disana, gue juga pingsan mendadak."

"Har–"

"Tunggu. Gue belum selesai cerita, Ja." Tukas Hara langsung. Kemudian, ia melanjutkan kembali. "Abis itu, ternyata Hugo bawa gue ke rumah sakit. Yaudah, gue disuruh istirahat dulu disana. Udah, gitu aja."

"Sedeket apa lo sama Hugo itu?"

"Biasa aja." jawab Hara cepat.

"Biasa aja?" seketika, suara seseorang membeo ucapan Hara tadi. Hara tahu suara itu. Ia pun menoleh ke belakangnya. Ia mendapati Hugo dengan kaos abu-abu lengan panjangnya yang ia lipat sampai sikutnya. Hugo segera melangkah mendekat.

"Hai." Sapa Hugo tetap melemparkan senyum kepada Hara, namun senyumnya langsung pudar saat beralih menatap Praja. "Kalau daritadi ngomongin gue, sekarang kita kenalan. –Hugo." Ia memberikan tangannya kepada Praja.

Dengan malas, Praja tetap membalas. "Praja." Keduanya hanya berjabat beberapa saat, lalu langsung meleps jabatan tangannya.

"Dia Praja?" kini seolah-olah Hugo bertanya kepada Hara.

"Hara cerita apa?" tanya Praja.

"Nggak sih, cuma biar lo terkesan penting aja." Hugo tersenyum miring.

Praja menatap Hugo geram. Ia mulai melangkah mendekat, namun langkahnya terhenti saat Hara menahannya. "Udah, Ja." ujar Hara.

"Senang bisa ketemu sama lo." ucap Hugo, bahkan ia tidak terbawa emosi padahal ialah pemicunya.

"Hara–"

Sebelum Praja selesai bicara, Hugo langung memotongnya. "Sebelum lo ngelarang Hara buat deket sama gue, batalin aja dulu ide lo."

"Hugo." ucap Hara dengan setenang mungkin.

Praja menatap Hara lurus. Kemudian, ia menggeleng. "Itu terserah Hara. Bukan urusan gue lagi."

"Praja–" Ucapan Hara segera terpotong.

"Gue duluan, Har." Praja menepuk pundak Hara dan segera beralih pergi.

"Lagi ya?" ucap Hugo langsung saat sosok Praja sudah menghilang.

Hara langsung menatapnya bingung. "Lagi apa?"

"Ngomong sama kamu." Hugo kembali tertawa. Ia sampai memegangi perutnya, namun mendapati ekspresi Hara yang menatapnya bingung, tawanya pun berhenti. "Bukan itu. Bercanda tadi."

Hara mendengus geli.

"Tadi dia bilang 'Bukan urusan gue lagi' ada keyword disana." Hugo kini menatap Hara lurus. "Kalian pernah ada hubungan apa?"

"Pacar." jawab Hara. Hugo langsung melebarkan matanya, namun secepatnya Hara mengoreksi jawabannya. "Dulu."

Saat itu pun Hugo mengelus dadanya. "Dikirain."

"Aku mau balik ke kantin." ucap Hara.

"Kamu lagi makan?"

Hara mengangguk mengiyakan. "Kenapa? belum makan?"

"Aku anggep itu ajakan kamu makan bareng. Yaudah." Hugo langsung menarik tangan Hara menuju kantin. Untung saja logo bertulisan kantin terpampang jelas, sehingga Hugo tidak terlihat terlalu bodoh karena tidak mengetahui dimana letak kantin.

Hugo selalu salah mengartikan, namun ia selalu dapat memperhatikan hal-hal kecil.

[1] HugoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang