11 Januari 2015

6.5K 926 12
                                    

C h e c k U p



Hara mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas pahanya sembari menyumbat telinganya dan mendengarkan lagu. Dan tahu lagu apa yang tengah diputar oleh Hara? lagu One Direction. Ya semalaman Hara men-download lagu One Direction tersebut.

Di sampingnya, Hana tengah sibuk dengan ponselnya. Sedangkan, ibunya tengah berbicara dengan salah satu suster. Entah apa yang ia bicarakan, ibunya sesekali tertawa.

Ah. Kini perutnya kembali berbunyi. Hara memang belum makan dari tadi pagi. Alasannya? ia sedang tidak dalam mood yang baik.

Mendengarkan lagu dari One Direction tersebut pun membuatnya tambah pusing dan mual. Ditambah lagi perutnya yang lapar namun, rasanya ia tidak ingin mengeluarkan energinya hanya untuk mengunyah.

Dan kini, posisi Hana yang ada disampingnya, semakin membuat Hara ingin mencekik adiknya tersebut karena, membuatnya bertanya hal itu kepada Hugo.

Oh iya, Hugo?

Lelaki itu tidak bicara apa-apa lagi. Bahkan, saat mengantarkan Hara pulang pun Hugo hanya diam. Kalimat terakhir yang dikatakan Hugo hanyalah,

'Gue anter lo pulang.'

Hara mengusap rambutnya frustasi. Lalu, ia beralih mengusap wajahnya. Ini benar-benar hari terburuknya.

Oh, dan fakta sekarang ia berada di rumah sakit karena ini jadwalnya untuk check up, juga tambah membuat mood nya semakin buruk.

Pikirannya kembali mengingat pada malam tahun baru kemarin. Ia duduk di posisinya sekarang ini, menunggu hasil testnya.

Dan, Hara berharap dokternya tidak akan membahas apa pun soal hasil test itu dengan ibunya nanti. Hanya saja, ini bukan waktu yang tepat.

"Hara Naufanya?" suara lantang dari wanita berpakaian suster itu pun lantas membuat Hara membuka earphone nya dan segera menoleh ke arah Ibunya.

"Ayuk, Har." Ibunya beralih ke arahnya. Kemudian, beralih menatap Hana. "Mau ikut nggak dek?" tanya ibunya.

Hana menggeleng cepat, matanya masih terfokuskan dengan ponselnya. Tanpa menoleh kepada Hana lagi, keduanya pun beralih masuk ke dalam.

Hana melirik pintu yang sudah tertutup. Ia menghela nafasnya panjang sembari mengelus dadanya. Ponselnya bergetar. Tanda adanya pesan baru.

Hugo: Check up?

"Ibu kamu belum tau ya?" tanya dokter Randi seraya ia menancapkan ujung suntikan untuk mengambil darah Hara.

Hara meringis saat merasakan ujung suntikan itu masuk ke dalam kulitnya. "Y–iya. Saya nanti bakal kasih tau." jawabnya. Ia pun kemudian menghela nafasnya saat suntikan itu sudah terlepas darinya.

"Kamu belakangan ini kecapekan?" tanya Doker Randi selagi ia membereskan alat suntikan tersebut.

"Nggak Dok, biasa aja." jawab Hara.

"Kantung mata kamu. Kamu juga lemes kayaknya. Belum makan?"

Hara menggeleng pelan.

"Seenggaknya, kalau kamu tau kamu mengidap sebuah penyakit, jadiin sehat itu prioritas utama. Jangan pernah telat makan."

Hara menghela nafasnya berat lalu, mengangguk.

"Jangan sampai kejadian empat hari yang lalu keulang lagi. Untung Hugo langsung bawa kamu kesini." ujarnya lagi.

Hugo, Hugo, Hugo. Hara yakin ia mulai pusing saat ini.

"Kalau kamu semakin lemah, semuanya bakal semakin cepat merangsang. Kamu ini pengidap penyakit leukimia akut, Hara."

Lagi-lagi fakta itu menyadarkan Hara pada kenyataannya. Menyadarkan waktunya. Menyadarkan semua yang tengah ia lihat sekarang, kalau ini hanya sementara.

"Kamu bisa ubah kenyataan. Kalau kamu yakin, dan bisa. Saya udah nanganin banyak pasien yang punya penyakit sama seperti kamu. Dan nggak semuanya berakhir gagal. Ada juga yang selamat. Dan saya mau kamu salah satu kategori yang selamat."

Hara diam. Bahkan, hari ini ia tidak mempunyai semangat hidup sama sekali.

"Yaudah, kamu tunggu di depan. Mama kamu kasian daritadi sendiri."

Hara mengangguk lalu beranjak berdiri. Sebelum ia melangkah, ia kembali bersuara, "Makasih, dok."

Dokter Randi hanya tersenyum seraya melihat Hara beralih keluar ruangan keduanya–yang diperuntukan untuk pengecekan pasien–dan menuju ruangan pertamanya dimana ibunya sedari tadi menunggu.

"Gimana? sakit nggak disuntik?" tanya Ibunya dengan tatapan khawatir.

Hara tersenyum lalu menggeleng, "Mama nanya 'sakit nggak' kayak aku masih anak umur lima tahun yang nangis-nangis karena disuntik."

"Ya siapa tau ... si Hana aja disuntik masih teriak-teriak." Ibunya tertawa.

"Karena Hana nggak harus disuntik tiap bulannya dari dia kecil kan?"

Tawa ibunya saat itu pun berhenti. Sebelum ia membuka mulutnya lagi untuk menjawab, Hara memotongnya.

"Maaf Ma. Hara cuma lagi nggak mood untuk ngebahas apa pun soal ini."

Tanpa menjawab apa pun, Ibunya hanya tersenyum menatap anaknya tersebut. Ia beralih menyentuh tangan anaknya yang permukaannya terasa sangat dingin.

Andai saja ibunya tau. Mungkin semuanya tidak akan setenang ini. Pikir Hara.

"Ma, gedein dong!" seru Hana dari kursi bagian belakang. Kepalanya ia condongkan ke depan. Senyum lebarnya pun terukir saat mendengar lagu kesukaannya terdengar dari radio mobil.

Namun, dalam mobil ini, mungkin hanya Hara yang tidak peduli dengan sekelilingnya. Ia terus menatap keluar jendela. Masih dengan earphonenya. Dan juga lagu darinya tersebut.

Tapi aneh. Lagu dari ponselnya malah terdengar lebih kencang. Padahal ia tidak membesarkan volume suaranya. Alisnya bertaut, ia melepas earphonenya.

Ia menemukan jawabannya.

Suara dari radio itu lah. Lagu yang sama dengan lagu di ponselnya. Hara segera memutar kepalanya menoleh kepada Hana.

"Han, kamu suka lagu ini?" tanya Hara sedikit penasaran.

Hana mengangguk. "Ya semua orang suka kali, kak. Kenapa?"

Hara tidak menjawab. Ia segera menggelengkan kepalanya. Seperti yang dikatakan Hugo, hampir seisi kelasnya menyukai lagu itu.

Senyum Hara terukir, bertepatan dengan ponselnya yang bergetar. Ia mengangkat ponselnya. Saat itu pun kedua matanya melebar.

Hugo mengirimkannya pesan.

Hugo: Lagi apa?

Hara merasakan sesuatu lega dalam hatinya. Mengapa? ia sendiri tidak tahu.

Hugo: gue minta maaf

Hugo: Soal kemaren.

[1] HugoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang