12 Januari 2015

6.8K 934 45
                                    

P u k u l T i g a



Untuk kedua kalinya, Hara menuangkan air panas ke dalam cangkirnya. Tujuannya, untuk membuat teh. Diluar tengah hujan, dan kamarnya dingin. Jadi disini lah Hara berakhir.

Hara menarik salah satu kursi yang sebelumnya menyatu dengan meja makan. Ia menjatuhkan dirinya dan duduk. Ia mengaduk-ngaduk cangkirnya agar teh celupnya segera bercampur dengan air panas yang ia tuang tadi.

Ia menyesap teh panasnya itu. Saat itu pula, wajahnya terasa panas. Mungkin, karena airnya yang panas.

Lalu, ia menaruh cangkirnya tersebut. Ia menoleh mencari-cari letak jam dinding. Matanya melebar seraya menatap jarum jam.

02:58

Hara tidak mengira sudah selarut ini. Jujur saja, ia belum tidur sedari kemarin. Ia hanya tidak bisa memejamkan matanya dan tertidur. Hara menghela nafasnya lalu, beranjak naik ke atas. Kembali ke kamarnya.

Suasana kamarnya tidak sedingin tadi. Syukurlah. Ia pun beranjak beralih naik ke atas tempat tidurnya.

Pikiran itu kembali muncul dibenaknya. Ucapan dokter Randi, ibunya, Hana, semuanya kini berputar dalam pikirannya membuat sebuah lingkaran yang tidak berpenghujung.

Ya Tuhan, batinnya seraya menyentuh keningnya.

Ia segera membuang pikiran yang memberatkannya itu dan beralih mengambil ponselnya. Pesan terakhir yang Hugo kirimkan belum ia balas.

Hugo: Besok ulangan sosiologi!!

Hara mendengus geli membaca pesan Hugo tersebut. Ya, sejak Hugo mengiriminya pesan lagi, tidak lagi ada yang membahas soal dua hari yang lalu.

Namun, saat ini Hara butuh seseorang untuk bicara dengannya. Tidak, ia tidak mungkin membangunkan orang tuanya, apalagi Hana. Siluman kebo satu itu tidak mungkin mau bangun hanya untuk menemani Hara bicara.

Hara mengerakkan jemarinya pada layar ponselnya. Mengetikkan sesuatu.

Hara: Udah tidur ya?

Tidak ada balasan. Tentu saja. Hugo tidak mungkin juga bangun pada jam larut seperti ini. Lagi pula, ia harus sekolah.

Sudah lima menit berlalu. Tidak ada juga tanda-tanda Hugo masih bangun. Hara pun menghela nafasnya panjang, lalu beralih merebahkan badannya di atas tempat tidurnya.

Ia kali ini mencoba memejamkan matanya. Namun, semua geraknya berhenti saat ponselnya berdering. Dengan cepat, ia meraih ponselnya.

Hugo is calling..

Kontan, alisnya berkerut. Hugo menelfonnya? apa ia sudah bermimpi?

Hara segera menekan tombol hijau, dan mendekatkan ponselnya ke telinganya. "Hug–Hugo?" Hara sedikit gelagapan. Ini kali pertamanya lagi ia akan mendengar suara Hugo lagi.

"Kok masih bangun?" terdengar suara serak di ujung sana. Hugo pastinya baru bangun.

"Ng–nggak bisa tidur. Lo?" tanya Hara sedikit ragu.

"Baru bangun. Mau tahajud." jawab Hugo dengan suara yang lebih sadar sekarang.

Hara mendengus geli mendengar ucapannya.

Sepertinya ia mendengar dengusan Hara. Lantas, terdengar tawanya berderai di ujung sana. "Bercanda. Abisan gue kebangun, lo baru bales gue juga."

"He'eh." jawab Hara. Ia memainkan ujung selimutnya.

"Are you okay?" kini suara Hugo lebih terdengar menyelidiki. "I know you're not."

Hara menghela nafasnya panjang. Entah mengapa, kini matanya terasa panas. Dengan cepat, ia mengipasi matanya yang mulai berair.

"Hara ...," ucap Hugo lagi. "Jangan nangis ..." Bagaimana ia tahu? Hara menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

Hara menarik nafasnya, membuat suara ia menarik ingus pun terdengar. Astaga. Apakah ia benar-benar menangis sekarang?

"Hara. Kenapa?"

Dengan satu tarikan nafas, ia mulai bicara, "Semuanya ngebuat gue pusing, Go."

"Pusing kenapa?"

"Gue nggak bisa ngebayangin gimana reaksi nyokap gue kalau dia tau yang sebenernya. Atau ngeliat reaksi seluruh anggota keluarga gue. Gue ... gue takut respon mereka nggak sesuai harapan." Hara mulai mengeluarkan isak tangisnya.

Hugo diam sejenak sebelum akhirnya ia kembali bersuara, "Jangan mikirin gimana respon mereka. Karena, yang lo butuhin cuma dukungan mereka."

"Dari dulu, mungkin gue itu anak paling nyusahin dan banyak bikin mereka berkorban demi gue. Gue cuma nggak mau, gue telat buat bales budi sama mereka."

"Hidup itu bukan cuma buat bales budi, Hara. Semua orang ngerti, kalau semua orang ngerasain ... –di posisi lo, mereka bakal ngerti."

Hara kembali menarik nafasnya pendek. "Di satu sisi gue pengen nyembunyiin dari mereka, tapi di sisi yang lain gue nggak bisa ngeliat mereka yang bisa tenang tiap kali ngeliat gue. Karena gue tau, itu nggak akan berlangsung lama."

Kini berganti, Hugo yang menarik nafasnya dalam-dalam. "Hara ...,"

Hara segera memotong ucapannya. "Gue kira awalnya bakal mudah buat bilang semuanya, karena toh orang yang bakal gue tinggalin mereka udah liat gimana perjuangan gue selama empat belas tahun ke belakang. Tapi ...," Ia berhenti. Ia segera menutup mulutnya lagi. Kali ini, ia tidak dapat menahan tangisannya untuk meledak saat ini juga.

Nampaknya, Hugo mendengar isak tangis Hara yang lebih keras sekarang. "Nggak usah di lanjutin kalau nggak bisa," terdengar nada suara yang begitu tenang di ujung sana.

Kita baru ketemu, Hugo. batinnya seolah-olah melanjutkan ucapannya yang terhenti tadi.

"Hara, sekarang lo tidur. Jangan dijadiin over thinking. Masih ada hari besok."

"Gue nggak tau gue bisa buka mata gue lagi atau nggak besok pagi, Go. Mungkin ... mungkin, itu alasannya kenapa gue susah tidur beberapa hari ini." ia benar-benar tidak dapat menahan dirinya sendiri. "Karena sebagian dari gue takut. Takut semuanya bakal berhenti gitu aja pas gue nutup mata gue."

Hening. Hanya isakan tangisnya yang terdengar semakin jadi. Hara menarik lututnya. Ia menenggelamkan kepalanya, di balik lututnya.

"Hara," sahut Hugo. "Ini bukan Hara yang pengen gue ajak ketemu tiap harinya."

"Gue nyesel kemaren nggak ketemu sama lo. Padahal hari libur." Hugo menambahkan.

Hara tetap diam. Tangannya yang menggenggam ponselnya mulai bergetar.

"Besok kita ketemuan. Gue jemput. Nanti gue kabarin lagi," ujarnya lagi. "Night, Hara."

Hara langsung menekan tombol merah pada ponselnya. Ia melempar ponselnya asal lalu, kembali meringuk dibalik lututnya. Ia kembali menangis.

Sampai akhirnya, ia berhenti menangis. Ia mengangkat wajahnya perlahan. Kini tetesan darah menghiasi lutut dan tangannya.

Ya, Tuhan.

[1] HugoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang