15 Januari 2015

6.3K 906 56
                                    

P e r a s a a n n y a



Pandangan Hara memang terus ke arah depan. Namun, pikirannya tidak mengarah ke depan. Bahkan, entah untuk keberapa kalinya, ia tidak mendengar ucapan dosennya di depan.

Ia tahu, konsentrasinya sangat sedang tidak berfungsi. Pikirannya justru memikirkan kejadian kemarin. Oh tidak, batinnya sembari menggelengkan kepalanya.

"Sst."

Hara dengar suara tersebut. Namun, ia tahu pasti bukan untuknya. Hara mencoba untuk tidak mempedulikan sekitarnya dan hanya mencoba memperhatikan dosennya tersebut.

Sampai akhirnya, sebuah kertas menimpuknya dari belakang. Dengan desahan kesalnya, ia menoleh. Dan mendapati Kyra yang tengah menatapnya geram. Mungkin, karena Hara menghiraukan sst nya tadi itu. Entahlah.

"Hara!" bisiknya.

"Apaan? gue udah nengok tau." balasnya sesekali menatap ke depan.

"Hugo!"

Mata Hara langsung melebar. "Hah!" ucapnya dengan bisikkan yang cukup keras.

Kyra memutar kedua bola matanya, lalu bersuara kembali. "Ada Hugo!" bisiknya lebih keras.

Mata Hara langsung terarah ke sekelilingnya, dan akhirnya ia mendapati yang dimaksud oleh Kyra. Dari celah jendela kecil di pintu, ia dapat melihat Hugo.

Apa yang dilakukan Hugo sekarang? Di kampusnya? dan jam segini?! Astaga. batinnya. Hara menepuk dahinya pelan, lalu menggeleng pelan.

"Tugas harus besok dikumpulkan. Kalau tidak, siap-siap tidak saya kasih nilai!" ujar dosennya tersebut.

"Tenang, Pak!" seru seisi kelas.

"Bagus kalau gitu." Ia merapikan buku-bukunya lalu, beralih ke pintu. "Kelas bubar ya." Ia pun menghilang dari pandangan seisi kelas.

"Anjrit! gue nggak ngerti gimana itu!" seru salah satu orang yang duduk di belakang.

"Sama!" sahut yang lain.

Hara segera mengangkat pantatnya dari bangku yang sudah ia duduki dari sejam yang lalu. Ia sudah tidak tahan dengan ucapan panik di kelas, sekarang pikirannya terfokuskan dengan Hugo.

Sekarang, dimana anak itu? tanyanya dalam hati sembari mulai melangkahkan kakinya mencari.

"Hai." Saat itu pula, muncul seorang lelaki dari balik tembok. Apa ia tidak tahu? ia baru saja membuat jantung Hara berhenti berdetak saat itu juga?

Sebuah pukulan ringan menyambar bahu Hugo setelahnya. "Ngagetin, tau. Suka banget bikin kaget orang ya?" tanya Hara sedikit sebal.

"Kenapa? masih kaget yang kemaren?"

Hara memutar kedua bola matanya malas. Kenapa ia harus membahasnya? kesal Hara dalam hati. Ia kini menatap Hugo kembali, "Kenapa tiba-tiba muncul?"

"Emang harusnya iya kan?"

"Ada apa?"

"Jangan disini. Gue anter pulang ya?" tanyanya.

Hara pun mengangguk kecil. Hugo pun menyeringai lebar lalu, membawa Hara menuju tempat ia memarkirkan mobilnya.

Di perjalanan, keduanya hening. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai akhirnya, Hugo memecahkan keheningan yang sudah menyelimuti keduanya sejak sepuluh menit yang lalu.

"Kal–Kalau gue suka sama lo gimana?"

Deg. Saat itu juga, Hara menelan ludahnya. Ia merasakan jantungnya berdetak dengan ritme yang sangat amat tidak teratur. Apakah ini efek dari penyakitnya, atau efek dari seorang lelaki yang tengah duduk di kursi pengemudi di sampingnya?

Hening lagi. Hara mengusap telapak tangannya yang mulai berkeringat ke celana jeans nya.

Kemudian, Terdengar Hugo berdeham. "Har." sahutnya.

"H–Hah apa?" tanya Hara sedikit gelagapan.

"Gue nanya."

"Nanya apa?" Dasar bego, hardik Hara kepada dirinya sendiri.

"Oke, gue ganti."

Pandangan Hara langsung menoleh ke arah Hugo. "Ganti apa?"

"Lo mau jadi pacar gue?"

Deg. Double Deg. Astaga, rasanya kini jantungnya akan keluar saat ini juga. Detaknya terlalu keras dan liar. Hara memejamkan matanya. "Go, berhenti bentar."

Nampak bingung, namun Hugo tetap mengikuti perintah Hara untuk menepikan mobilnya. "Kenapa? Gue sal–"

Hara langsung memotongnya. "Ada rumah sakit nggak sih? jantung gue aneh banget. Dulu, gue kayak gini. Katanya ini efek dari leukimia." Hara memandang keluar dengan tatapan gelisah.

Yang diajak bicara malah justru tertawa. "Hara. Seriusan?" tanya Hugo dengan tawanya yang masih mengiringinya.

"Gue serius, Hugo." ucap Hara dengan tatapan serius.

"Lo suka sama gue, Har?"

Deg. Ah, Terserahlah bagaimana kondisi jantungnya saat ini juga. Tetapi, mengapa segala kata-kata yang dikeluarkan Hugo malah membuatnya–entah lah.

"Jujur, gue udah mulai suka sama lo dari awal gue liat lo nangis di atap." Jeda, "Tiap ketemu sama lo, rasanya seneng aja."

"Pertama kalinya gue liat lo seneng banget itu ya pas Festival. Tapi, sayangnya hari itu juga, gue ngeliat sisi lemah lo." lanjutnya.

"Lo nggak tau seberapa khawatirnya gue, pas ngeliat lo mimisan terus pingsan. Gue bersumpah, gue nggak akan lagi bikin lo capek. Makanya, gue ajak lo ke drama musikal–walaupun gagal."

Hara mencoba dirinya untuk tertawa.

"Hari itu kita–kinda have a fight. Didn't we?"

"Maaf." balas Hara.

"No need to sorry, Hara. Bukan salah lo juga," ia menghembuskan nafasnya pendek lalu melanjutkan, "Karena, disitu gue sadar. Gue terlalu sibuk buat nyari tau semuanya tentang lo, dan gue lupa memperkenalkan diri gue sendiri ke lo. Tapi, emang niat awal gue untuk nggak ngasih tau lo soal penyakit itu."

"Soal kemaren ... murni gue nggak sengaja." ucapnya. "Mestinya gue ngomong hal ini ke lo, kemaren. Tapi, muka lo kemaren yang pucet itu ngalihin semuanya. Makanya kita–"

"Go." potong Hara cepat. Namun, jantungnya malah tambah berdetak cepat.

"Hara, Gue sayang sama lo." ucapnya. "Gue yakin lo denger dua ucapan gue sebelumnya."

Hening beberapa saat, lalu Hara menghembuskan nafasnya sesaat. Berat. "Gue nggak tau, Go."

"Tapi, lo deg-degan."

"Ini tuh–"

"Gue nggak mau terlalu yakin sama perasaan lo." Ia menyalakan mesinnya lagi, sebelum ia melemparkan senyumnya kepada Hara. "Gue mau lo yakin sama perasaan lo sendiri." Ia melajukan mobilnya perlahan.

Maaf, ucap Hara dalam hatinya. Bohong jika ia tidak memiliki perasaan yang sama dengan Hugo. Tetapi, waktu yang sudah semakin berkurang, membuatnya harus menutup hatinya.

a/n

selamat berliburr!

[1] HugoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang