E p i l o g
❋
Hugo pulang kemarin.
Mungkin seharusnya, kemarin adalah hari kebahagiaan Hara, karena ia bertemu kembali dengan Hugo.
Namun semuanya tidak berlaku pada hari itu bagi Hara. Karena, bukan Hugo dengan wajahnya yang sangat pucat dan dingin yang Hara ingin temui.
Bukan Hugo yang menutup matanya rapat, seolah-olah tengah terlelap.
Bukan Hugo yang tidak ada pergerakan sama sekali. Bahkan, ia tidak nampak seperti bernafas.
Bukan Hugo yang hanya diam tanpa bersuara. Hugo seharusnya bersuara, bukan diam membeku. Seolah sesuatu mengunci rapat mulutnya untuk terbuka.
Bukan itu semua. Hara ingin melihat Hugo yang biasanya ia temui.
Hugo yang tersenyum,
yang begitu senang menggodanya,
yang kerap kali tertawa,
yang terlihat begitu hangat,
yang begitu peduli,
dan ... Hugo yang bernafas.
Hara ingin bertemu Hugo yang hidup. Ia merindukan Hugo yang itu.
Namun, realita begitu menamparnya pedih dengan kenyataan, kalau nama Hugo Mahendra lah yang tertera pada batu di atas tanah yang masih terlihat segar dengan taburan bunga-bunga di atasnya.
Bahkan, Hara tidak lagi dapat melihat wajah Hugo. Tidak lagi bisa memeluk Hugo–hal yang jarang ia lakukan, namun sangat ingin ia lakukan detik ini juga.
Bahkan, bulir air matanya tidak dapat ia tahan sedari tadi, membuat wajahnya begitu lembab. Sesaat air matanya jatuh sekali lagi dari pelupuk matanya, ia memejamkan matanya seraya memohon kepada langit untuk menurunkan hujan agar ia dapat menangis bersama. Tidak sendirian.
Nyatanya, tidak ada lagi tanggal untuk menghitung. Menghitung berapa lama semuanya berlangsung.
Karena, hari ini pun hari terakhir Hara bertemu Hugo dalam wujudnya.
Tidak akan ada hal-hal baru yang akan Hara pelajari tiap kali ia bertemu dengan Hugo, tidak ada lagi yang akan muncul tiba-tiba di kampusnya, hanya untuk sekedar menyapanya atau mengajaknya pergi.
Matanya menatap sendu nama yang tertera pada batu nisan tersebut. Kini, mulutnya terasa berat untuk menyebutkan namanya. Namun, dengan hembusan nafas satu kali, ia beranikan dirinya untuk berucap, meski hanya satu kalimat.
Dan, meski ada beribu pertanyaan dalam kepalanya kepada Hugo. Mungkin, hanya satu kalimat yang dapat ia ucapkan untuk menanyakan beribu jawaban.
"Apa yang kamu sembunyiin, Hugo?" Ia terisak kembali.
Langit pun seketika bersuara dan, beriringan dengan turunnya satu persatu rintikkan kecil yang mulai membasahi tubuh Hara.
Ia menyembunyikan semuanya di balik kata demi kata pada suratnya dan, meninggalkan Hara ... tanpa satu petunjuk.❋
"Sometimes the hardest part
isn't letting go.""But rather
learning to start over"❋
a/n
[Sebelumnya, ini di re-post ya]
Bukan epilog yang bagus menurut aku sih ya.. hehehe. But the end guys.
Hugo sudah the end (hiks)
Anyway, makasih yang udah baca Hugo dari awal sampai abis! dan yang udah ngevote terus, makasih banyak!
Sampai ketemu di cerita yang lain!
p.s Setelah ini ada hadiah kedua buat kalian! Stay tune yaa! :)
Pacar sampingan Hugo,
Bia.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Hugo
Teen FictionDia Hugo, Hugo Mahendra. Dan aku, Hara Naufanya. Tidak begitu banyak kesamaan. Namun, kami bertemu dengan alasan yang tidak pernah terucap. [Check out the trailer] #77 - Teen Fiction / 10.07.16 Copyright © 2015 by Bia