18 Januari 2015

5.8K 870 5
                                    

H i l a n g D a r i n y a


Sehari berlalu, namun semuanya terasa aneh. Bukan karena pernyataannya kemarin di hadapan keluarganya, ataupun karena Hugo yang tiba-tiba datang.

Namun, karena hilangnya Hugo tiba-tiba. Walaupun baru sehari, namun tidak ada pesan masuk dari Hugo atau bahkan, telfon darinya. Semuanya nihil.

Hara menghembuskan nafasnya perlahan. Kemudian, Ia meraih kotak tisu dan membawanya ke tempat tidur. Sudah sedari tadi darah dari hidungnya, tidak kunjung berhenti.

Tiba-tiba, terdengar dering ponselnya berbunyi. Dengan cepat, ia meraih ponselnya. Namun, bukan orang yang ia tunggu.

Praja is calling..

Dengan satu hembusan nafas pendek, Hara menjawab telfonnya tersebut. "Kenapa, Ja?" tanyanya langsung.

"Nyokap lo ...," jedanya, "Udah cerita."

Hara memejamkan matanya sesaat, lalu beralih mengganti tisu. "Terus ... kenapa?" tanya Hara.

"Lo nggak cerita."

"Nggak ada hukumnya kan, gue harus ceritain semuanya ke lo." balasnya. "Gue cuma nggak mau ngumbar, dan seakan-akan minta belas kasihan sama semua orang."

"Hara ..." sahutnya pelan. "Semakin lo sembunyiin, justru malah bikin semua orang merasa bersalah, karena nggak tau apa-apa–"

"Ja." potong Hara. "Lo berhak pergi. Mau selama apa pun dulu lo sama gue, tapi lo berhak yang namanya cari kehidupan. Nggak selamanya juga, lo bakal terus-terusan harus di samping gue, dan dengerin curhatan gue."

"Gue kan udah–"

"Lo hidup bukan cuma jadi bahu penyangga gue doang, Ja. Karena, semuanya juga nggak bakal terus-terusan kayak gitu." Jeda, "Mungkin, udah waktunya lo cari kepala baru, buat pengisi bahu lo. Dan, orang itu bukan gue lagi."

Terdengar helaan nafas panjang di ujung sana. "Gue tau, Hara. Gue bisa liat semuanya waktu di kampus waktu itu." Ia berhenti sesaat. "Karena, bukan gue lagi orangnya."

"Praja–"

Terdengar tawa hambar di ujung sana. "Udah enam tahun, dan akhirnya gue bisa liat lo jauh lebih bahagia dari dulu."

Hara mengerjapkan matanya, lalu melepaskan tisunya. Darahnya sudah berhenti mengalir.

"Mungkin perasaan kita masing-masing udah berubah. Tapi, gue bisa jadi orang yang lo andelin tiap saat."

"Gue tau, Ja." jawab Hara.

"Lo nggak tau, Hara. Gimana rasanya harus ngelepasin orang yang udah terlalu lo genggam erat dari dulu." Ia kembali tertawa parau.

Dan, lo nggak tau, gimana rasanya harus ngelepasin orang yang baru aja lo genggam sekarang. batin Hara menjawab.

"Cepet sembuh. Jangan nangis terus." tutur Praja. "Nangis nggak bakal nyembuhin, dia cuma ngurangin emosi lo."

"Makasih, Ja." Jeda, "Buat ... semuanya."

"Bye." balas Praja.

Hara menghela nafasnya perlahan. "Bye." Lalu, ia memutuskan hubungan telfonnya.

Sejak enam tahun yang lalu, tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk melepaskan Praja. Praja memang orang pertama yang membuka perasaannya.

Namun, tidak penting dia orang pertama, kedua, atau ketiga. Karena, kedatangan orang baru saja, tetap dapat membuka perasaannya.

Hugo.

Namun, harus melepas bukan?

Hara hanya tidak mau menjadikan Hugo sebagai Praja kedua. Sebagai pundak untuk bersandar, sebagai tempat untuk bercerita. Bukan itu.

Mungkin sudah saatnya, untuk melepas. Membiarkan semuanya renggang begitu saja, selagi waktunya sedang tepat.

Hugo hilang sedari kemarin. Dan mungkin, sudah waktunya menghilang dari Hugo.

Walaupun, banyak yang harus di ungkapkan, namun semuanya tidak akan pernah terlaksana.

a/n
Maaf chap ini aneh..
Maaf pendek..

Makasih sekali yang udah baca,vote, dan comment!

[1] HugoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang