19 Januari 2015

5.8K 841 11
                                    

G e l a p


"Har?" suara Kyra sesaat menyadarkan lamunan Hara.

Hara mengerjap beberapa saat, sebelum menjawab. "H–hah? kenapa?" tanyanya.

Pandangan Kyra justru beralih keluar area kantin. Tepatnya parkiran. "Tumben nggak kedatengan tamu hari ini?"

Hara memutar kedua bola matanya seraya mendengus pelan. "Emangnya harus ya kedatengan tamu?" balasnya sedikit malas.

"Jangan sensi gitu dong ...," jawab Kyra dengan menampilkan wajah melasnya. "Lagian dari tadi lo murung banget, perasaan. Tugas lo belum pada selesai? kalau belum, kerjain bareng gue juga nggak–"

Hara segera memotongnya. "Nggak kok. Bukan itu."

"Terus apa dong? ya walaupun, kita baru kenal pas di kelas waktu itu, lo bisa lah bagi-bagi cerita ke gue. Siapa tau, bisa bantu kan?"

"Beda, Ra." jawab Hara lalu, kembali menunduk.

"Atau ...," Kyra menggantungkan kalimatnya. "... Penyakit lo ya?"

Dengan pelan, Hara menggelengkan kepalanya. "Nggak. Itu nggak usah dipikirin."

"Yah, terus apa dong? gue nggak jago nebak tau ..." Kyra memasang wajah cemberutnya. "Praja ya?" tembaknya langsung.

Dengan cepat, Hara mengerutkan keningnya dan menggeleng. "Bukan. Kok jadi Praja sih?"

"Yaudah, pasti Hugo." tembaknya lagi. "Ya kan?" tanyanya memastikan.

Hara tidak menjawab, ia beralih menyeruput jusnya lagi, dan meraih ponselnya dari dalam tasnya. Nihil. Tidak ada notif apa pun.

Kemudian, terdengar helaan nafas dari Kyra. "Har, kalau lo cuma nunggu, ya nggak bakalan dapet apa-apa. Seenggaknya, lo bisa sapa duluan kan?"

"Nggak gitu, Ra." bantah Hara. "Gue nggak bakalan nyapa dia lagi." Kini, beriringan dengan hembusan nafasnya.

"Loh, kenapa? to be honest, gue nggak peduli mau tuh anak masih SMA atau apa pun, tapi gue bisa liat dia, dia bisa jagain lo." Jelas Kyra. "Gue bisa liat semuanya dari tatapan dia, atau pun dari tatapan lo balik ke dia."

"Gue sama dia juga baru kenal banget kok. Tahun baru kemarin, masih belum terlambat buat udahin semuanya." balas Hara.

Saat itu pula, Kyra menatapnya lurus dengan kening berkerut. "Lo–lo mau nyelesein hubungan lo gitu aja?"

Hara memutar kedua bola matanya, "Kadang kita harus ngelakuin sesuatu, yang padahal bakal sulit buat kita sendiri ngejalaninnya kan? tapi, mau nggak mau, harus dijalanin." jawabnya.

"Loh, kenapa?"

"Nggak usah dibahas lagi, Ra. Gue pusing." balas Kyra kemudian, menggeleng pelan.

Kyra yang baru saja ingin membalas lagi, namun mengurungkan niatnya dan mengangguk pelan. Ia memandang ke luar kantin. Sudah mulai sepi. Sebentar lagi, akan ada kelas lagi.

"Har. Ke dalem aja yuk?" ajak Kyra.

Tanpa mengeluarkan suara, Hara mengangguk. Ia pun membayar jusnya terlebih dahulu, sebelum ia berjalan keluar kantin bersama Kyra.

"Har, lo lagi nggak enak badan, ya?" tanya Kyra yang sedari tadi, melirik Hara sesekali.

Hara menggeleng. "Biasa aja." jawabnya ringan.

Kyra menghentikkan langkahnya. "Muka lo pucet banget gini, gimana biasa aja nya?" tanyanya sembari meneliti wajah Hara. "Lo balik aja kalau nggak, entar tetep gue absenin." lanjutnya.

Kepalanya memang pusing sedari tadi, namun badannya biasa saja. "Serius nggak apa-apa?"

Kyra tersenyum tipis. "Santai aja. Nanti gue tulisin kok absen lo." ujarnya. "Yaudah, hati-hati. Kalau nggak lo naik taksi aja, kalau nggak kuat nyetir."

"Bisa kok." jawab Hara. "Makasih ya?"

Kyra tersenyum, namun alisnya berkerut. Menyiratkan kegelisahan tersendiri bagi Hara. Kyra melambaikan tangannya pelan sesaat Hara melangkah memutar balik menuju parkiran.

Hara melangkah seperti biasanya menuju mobilnya yang terparkir. Ia segera masuk ke dalam mobil.

Tangannya kini mulai gemetar, bahkan ia tidak dapat mencengkram stir mobil dengan kuat. Mungkin, hanya perasaannya saja.

Tanpa berpikir terlalu panjang, Hara menyalakan mesin mobilnya, dan mulai melaju pergi.

Namun, tangannya semakin lemas. Mungkin, memang seharusnya ia naik taksi saja tadi. Kakinya pun beralih menginjak rem. Tapi, tidak terlalu kuat. Mobil terus berjalan.

Hara menghembuskan nafasnya berat. Seketika pula, sekujur tubuhnya terasa lemas. Sekuat tenaga ia mencoba menginjak rem, namun mobilnya tetap berjalan.

Sampai akhirnya, pandangannya mulai buram. Dan semuanya menjadi gelap.

Hal terakhir yang ia dengar, adalah klakson panjang.

[1] HugoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang