The Fact

11 4 0
                                    

28th April 2016 on 14.34 PM

Ckrek...

Blam...

Aku masuk ke kamarku dan kemudian berjalan ke tempat tidurku. Tampak Kay dan Corwin yang bermain ular tangga di atas karpet merah di kamar ini.

"Kemana saja kau?" Tanya Kay

"Aku ada di lab." Jawabku

"Ada apa denganmu? Kau terlihat murung." Kata Corwin

Aku berdiri di samping tempat tidurku dan langsung membanting diriku ke sana. Aku merasakan keempukkan yang tidak akan hilang sampai seminggu kedepan.

"Ah... Jangan kau tanya lagi, Corwin. Pasti tentang kakaknya. Masalahnya tidak pernah selesai. Benar, kan?" Tanya Kay

Aku hanya mengangkat tangan kananku ke atas. Lalu kuacungkan jempolku.

"Tuh... Benar." Kata Kay

"Selalu saja. Tidak akan berubah." Kataku

"Kau mau ikut bermain? Kebetulan Kay sudah menang." Kata Corwin

"Tidak. Aku sedikit pusing karena tadi." Kataku

"Karenanya lagi?" Tanya Kay

"Bukan. Itu karena hujan." Jawabku

"Oh... Ok."

Nenek Tasya membuatnya bingung. Kenapa nenek belum bisa menerima kematian anaknya semenjak 15 tahun yang lalu?

Aku bangkit dari tempat tidurku dan kembali keluar kamar.

"Kau mau kemana?" Tanya Kay

Aku melihat Kay

"Aku ingin bicatra dengan Zaide. Nenek Tasya telah membuatnya bingung dengan kematian anaknya. Kau ingat, kan, makam Zaide Arieze L.?" Jawabku yang diakhiri dengan pertanyaan

"Hmm... Oh... Ya! Aku ingat!" Jawab Kay

"Aku juga!" Kata Corwin

"Itu adalah makam anak Nenek Tasya. Beliau adalah istri kakek. Dan ternyata selama ini kita salah makam." Jelasku

"Oh... Ku kira namanya memang ada Arieze-nya. Karena dia pelupa, jadi kita tidak akan tahu nama lengkapnya." Kata Corwin

"Memang benar. Selama itu kakek tidak pernah memakamkan Zaide karena dia menghilang sejak hari kematiannya." Jelasku lagi

"Hmm... Ku kira kakek sudah memakamkannya." Kata Kay

"Dan ku kira kakek yang memindahkanmu ke tempat tidurmu." Sambung Corwin

"Ya... Ku kira juga begitu. Tapi itulah faktanya. Tapi... Ada satu hal yang aku bingungkan." Kataku

"Apa itu?" Tanya Kay

Aku mendekati mereka berdua dan duduk di antara mereka.

"Hari ini, tepatnya pagi tadi, aku pergi ke Istana Berhantu. Ada sebuah peraturan yang bertulisan...."

Aku menceritakan segalanya yang terjadi saat di Istana Berhantu dari awal sampai akhir.

"Hmm... Dari semua itu... Aku hanya bisa dapat satu. Yang kau lihat saat itu bukan Zaide. Dia hanya salah satu ilusi dari istana itu. Berarti... Kau gagal, West." Simpul Kay

"A... Aku gagal?" Tanyaku tak percaya

"Kau lihat saja untuk membuktikannya." Jawab Kay

Aku berdiri.

"Baiklah. Aku akan membuktikannya." Kataku

Aku pergi meninggalkan mereka berdua dan bergegas ke kamar 227.

Drap... Drap...

Aku harus membuktikannya! Jika kata Kay benar, maka aku berada di ujung kehidupan.

Drap drap drap...

Aku tidak tahu ini mitos atau fakta. Tapi aku harus mencobanya untuk mengetahuinya.

Aku berhenti berlari dan menengok ke kiri. Sebuah pintu dengan angka 227 yang kecil membuatku sedikit takut. Tapi untuk apa harus takut? Ini tanggung jawabku.

Aku berjalan mendekati pintu itu dan mengetuknya.

Tok tok tok...

"Za... Zaide, apa kau di dalam?"

Aku menunggu jawaban. Tapi tidak ada satu pun suara yang menjawab pertanyaan biasaku.

Jika tidak ada jawaban... Itu wajar. Sesuatu telah terjadi padanya. Memang inilah sifatnya.

"Zaide, aku tahu yang kau lakukan. Keluarlah! Aku ingin bicara!"

Aku memang tahu. Aku yakin dia sedang merenungkan kejadian tadi. Berdiam di kamar tanpa bergerak dan hanya bisa berpikir hingga sakit kepala. Itulah dia.

"Zaide,"

Aku mulai putus asa dengan ini. Aku sudah lama menunggu. Tapi tak ada respon. Ayolah, Zaide. Jawab aku!

The Second of Black Moon TragedyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang