Chapter 18

176 23 0
                                    

Reuben menginjak pedal gas dalam-dalam. Ia ingin melarikan diri dari kebisingan lalu lintas yang padat. Ia bahkan tak memberikan kesempatan pada kendaraan lain untuk menyalip laju mobilnya. Ia ingin pulang lebih cepat dan membenamkan diri dalam penyesalan. Pikirannya sedang kacau, dan hatinya... Hancur.

Bayangan Kiran dan ucapan gadis itu beberapa menit lalu masih tergiang dalam ingatannya. Bagaimana mungkin Kiran sudah menikah? Baru tiga bulan meninggalkan dan tak menjaga Kiran, gadis yang dicintainya itu langsung direbut orang lain.

Reuben memukul setir dan menginjak pedal rem karena tak punya tenaga lagi untuk mengemudi. Ia ingin menenangkan diri. Ia sudah menunggu Kiran selama tiga tahun dan Kiran malah memilih lelaki yang baru dikenalnya satu minggu untuk diajak menikah!

Oke, Reuben tau kalau mereka hanya pura-pura menikah. Mereka akan segera bercerai dan pisah rumah. Namun, kenyataan bahwa Kiran menyukai lelaki itu apa bisa diubah? Reuben juga tau kalau suami Kiran sudah punya pacar, tetapi siapa yang tau apa yang akan terjadi esok?

Lagi pula, Kiran terlihat tanpa beban saat menceritakan pernikahannya. Ia terlihat sangat tenang dan senang. Oh, apa Kiran lupa kalau dirinya mencintai gadis itu? Reuben bahkan pernah memohon agar Kiran mau mengubah pikiran dan coba untuk menjalani hubungan yang lebih serius. Namun, dia menolak dengan dalih tidak bisa berpacaran dengan sahabat sendiri. Apakah Kiran tidak mengerti apa yang dia rasakan?

Reuben berhenti menyalahkan diri sendiri, lalu ingin melakukan sesuatu untuk mengubah keadaan. Ia segera meraih ponsel dan menelepon Kiran.

"Halo, Reuben!" Suara Kiran terdengar riang di ujung sana.
Reuben yang kecewa tak bisa ikut merasakan apa yang Kiran rasakan. "Kiran, tentang pernikahanmu...." Reuben menggantung ucapannya. Takut jika menyinggung perasaan Kiran.
"Ada apa? Kau baik-baik saja? Kenapa suaramu lemah begitu?"
Reuben menarik napas, lalu menguatkan diri, "pernikahanmu itu, apa kau menerimanya karena uang?" Ia memejamka mata setelah menanyakan pertanyaan bodoh itu dan ingin segera menarik ucapannya kembali.
Suara Kiran tidak terdengar. Apa mungkin dia marah? "Halo?"
Terdengar desahan, "aku kecewa karena kau berkata begitu. Apa aku serendah itu dimatamu? Reuben, kau harus tau bahwa aku tidak menerima sepeserpun karena pernikahan ini. Aku memang ingin jadi kaya, tapi bukan jalan ini yang akan kutempuh untuk mewujudkan mimpi itu. Aku tulus ingin membantu ayah Mikha, kau dengar?" Dia marah dan segera memutus sambungan.
Reuben melempar ponselnya dan menyesali diri lagi. Dia memang lelaki tak berguna.

**
Kiran menghempaskam badan di sofa ruang tamu. Ia masih kesel setelah menerima telepon dari Reuben. Apa maksudnya bicara begitu?
Kiran mengacak-ngacak rambutnya, "Awas kau, Ben, tak akan kumaafkan kau kalau menelpon lagi!" Gerutunya sambil memandangi ponsel di atas meja.
Tiba-tiba, layar ponsel itu menyala dan menghadirkan subuah dering yang cukup berisik. Kiran, tanpa melihat siapa peneleponnya, segera menerima dan memaki.
"Apa lagi sekarang? Kau masih beranggapan kalau aku ini begini karena uang? Dengar ya, aku akan berikan padamu sekarung uang kalau sudah kaya nanti, kau harus ingat kalau aku akan datang dengan uangku sendiri. Aku tak akan mengemis dan memohon kepada lelaki mana pun. Akan kulunasi utang dan jatah makan yang sudah kau bayari. Mengerti?" Teriaknya dengan nada yang menukik tinggi.

Hening, tidak da jawaban.

Kiran segera menjauhkan ponsel dari telinga, berusaha membaca nama yang tertera di LCD. Seketika kepalanya seperti dilempar batu. Pantas saja Reuben tidak menjawab karena memang bukan dia yang menelepon.

Kiran berdeham dan mendekatkan ponsel dengan ragu, "Mikha, kau meneleponku? Maaf, tadinya kupikir orang lain!" kilah Kiran sambil memukuli kepala. Lain kali, ia tak ingin asal bicara lagi.

"Oh, tadinya kupikir kau serius. Baguslah kalau bukan ditunjukan padaku. Kedengarannya, kau sangat marah, ya?" Sahut Mikha yang membuat Kiran tak enak hati. "Hmm..., aku menelepon untuk meminta maaf!" Lanjutnya.
"Minta maaf?"
"Ya, bukankah rencananya hari ini aku akan membantumu pindah ke rumahku!"
Kiran mengangguk, lalu menyaut, "benar."
"Tapi, maafkan aku Kiran, aku ada pekerjaan di kantor. Hmm, apa kau bisa pergi dengan pacarmu saja? Alamatnya akan segera kukirimkan!" Lanjut Mikha yang membuat hati Kiran mengecil. Andai Mikha tau kalau ia sudah menunggunya sejak satu jam lalu. Mereka memang sudah berjanji untuk berangkat pukul tujuh, tetapi sudah pukul delapan dan akhirnya benar, Mikha tidak bisa datang.
Dan, apa yang Kiran dengar tadi? Mikha menyuruhnya untuk diantar pacarnya saja? Kiran ingin segera meralat ucapan Mikha. Ia sedang marah kepada Reuben dan juga tak ingin Mikha salah sangka.
"Tidak apa-apa, tapi Reuben bukanlah...."
"Kiran, apa pesannya sudah masuk? Kalau begitu, aku tutup dulu, ya. Maafkan aku tidak bisa menjemput!" Potong Mikha dan segera memutuskan sambungan telepon mereka.

Kiran berhenti bergerak dan menahan tangannya untuk tidak melempar ponsel ke lantai. 'Sadarilah, Kiran, kalian hanya berpura-pura. Pernikahan palsu dan suami palsu. Jangan harap dia akan memperlakukanmu dengan manis. Satu hal, dia juga sudah punya kekasih. Kau tak ada artinya di mata Mikha!' Kiran yang berusaha keras menahan air matanya untuk tidak jatuh.
Kiran juga bingung, kenapa akhir-akhir ini ia jadi cengeng. Apa semua orang terabaikan juga merasakan hal yang sama?

Dengan Dirinya [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang