Chapter 4

254 24 0
                                    

Kiran dan Ivan tiba dirumah sakit setelah mengalami perdebatan panjang, melewati jalanan yang mereka lalui dengan kehebohan yang mengganggu.

Kiran yang tak mau begitu saja dipermainkan, langsung berontak ketika Ivan menarik tanganya dan membawanya pergi jauh sampai kerumah sakit. "Kenapa kita kesini? Siapa yang sakit? Ayah atau bunda? Kalian membohongiku, ya?" Teriaknya histeris. Ia belum siap jika nanti menemukan salah seorang dari orantuanya tengah berbaring sekarat di atas tempat tidur.
Ivan mendekap mulut Kiran dan menariknya lebih kuat. "Kau sangat berisik. Aku mohon, kali ini menurut saja," pintanya. Kiran menuruti, ia lelah.

Mereka bergegas menaiki lift menuju lantai dua, segera berlari menyusuri lorong ketiga, dan memusatkan perhatian saat membaca nomor kamar satu persatu. Dan, saat menemukan kamar nomor lima yang terletak dikoridor ujung, Ivan segera mengajak Kiran mendekat.

"Ini kamarnya!" Ucapnya lega.
Kiran berkejut samar, masih belum tenang. "Kamar siapa? Kak, ceritakan padaku sebelum adikmu ini jatuh pingsan!" Desahnya pelan.
Ivan menggeleng, malah mencari tangan Kiran dan menautkan jarinya di sana. Membuktikan kalau dia akan menjaga Kiran jika sesuatu yang buruk terjadi. Tanpa banyak bicara, Ivan segera menurunkan gagang pintu dan mendorong pelan hingga pintu itu terbuka.
Kiran menunduk sebentar, sebelum akhirnya masuk terdengar percakapan yang tiba-tiba dihentikan.

"Maaf kami terlambat." Ucap Ivan dan segera menggoyangkan tangan agar Kiran melakukan hal yang sama.
Gadis itu mendongak. Bibirnya yang sudah dibuka kembali terkatup begitu melihat ayah dan bundanya ada diruangan itu, tengah berdiri dengan wajah cemas. Juga seorang laki-laki tua yang berbaring. Yang lebih membuat Kiran kaget adalah lelaki yang duduk disebelah laki-laki tadi. Lelaki yang terlihat muram dan sedih.

Seseorang yang membuatnya nyaris mati!

"Kau sudah datang?" Bunda Kiran segera menyusul putri yang masih berdiri diam di dekat pintu. Ia segera menggandeng tangan Kiran dan membawanya agak ke tengah, agar bisa dilihat semua orang.
Kiran membuka mulut untuk membantah, tetapi ia tidak punya tenaga karena kaget. Aneh, sepertinya hari ini semua orang sedang mengerjainya. Ayah yang menelpon tengah malam, tabrakan, rumah yang sepi, dan sekarang pemandangan ini. Siapa yang sakit? Kenapa keluarga dan lelaki murung itu terlihat sangat mencemaskannya?
"Bunda, aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu sebelum kau menjelaskan apa yang tengah terjadi. Aku bingung!" Ucapnya. Kali ini, ia memandangi orang-orang yang mengelilinginya satu-satu dan yang balas memandangnya dengan tatapan sulit dimengerti. Tiba-tiba saja, ia sadar bahwa ucapannya barusan tak akan menghasilkan apa-apa.

"Ada seseorang yang ingin ayah kenalkan padamu!" Jelasnya cepat.

Suasana masih tenang dan khidmat. Seperti upacara kematian, sangat mencekam. Bahkan, Ivan- kakak laki-laki Kiran- yang bisa asal bicara hari ini mampu menahan hasrat untuk tidak ikut campur. Ayahnya sudah cerita kalau ini bakal jadi hari yang berat bagi siapa saja, jadi ia tak ingin menambah masalah. Ia sudah tau kalau ini bukan persoalan kecil.
Langkah kaki Kiran yang didorong maju oleh ayah terdengar berat dan ditahan. Ia masih linglung. Siapa juga yang bisa luwes menghadapi situasi tak terduga ini?
Terdengar helaan napas dari mulut lelaki yang terbaring dikasur.
"Jadi, kau Kiran?"
Kiran mengiyakan tanya dari suara serak itu.
Tiba-tiba juga, anak bapak yang sedang sakit itu segera mendongak, membuat Kiran kaget setengah mati karena mereka jadi saling menatap. Kiran bisa melihat mukanya lebih jelas, sedang dia membalas menatap Kiran dengan ekspresi yg sulit dijelaskan. Antara senang, kaget, juga tak percaya.
"Sudah lama aku menanti datangnya hari ini dan sekaranglah waktunya. Dua puluh tiga tahun kugunakan hanya untuk menantimu dewasa. Lihat, kau sekarang cantik seperti bundamu!" Dia berdeham.

"Tuan, apa kau mengenalku?" Lamat-lamat, Kiran memberanikan diri untuk membalas rasa penasarannya. Ia mengacungkan telunjuk setinggi dada, menunjuki diri sendiri.
Lelaki yg ditanya sontak tertawa, "tentu saja aku kenal. Aku Lans dan kau harus lebih mengenaliku setelah pesta nanti!"
Karin membelalak, membuka mulutnya lebar-lebar dengan kedua tangan mendekap mulut. "Pesta a-apa?" Suaranya bergetar. Entah karena takut atau kaget. Yang jelas, saat ini Kiran sama sekali tidak fokus. Otaknya serasa disirami air keras, tidak bisa memikirkan apa-apa.

Saat menerima telepon dari ayahnya tadi malam, ia sudah tau pasti sesuatu yang buruk telah terjadi. Dan, saat menyaksikan bahwa semua angkota keluarga baik-baik saja, ia langsung berpendapat bahwa sesuatu yang buruk itu pasti akan menimpa dirinya.

Hening lagi, belum ada yg menjelaskan. Kiran jadi kesal, apa mereka tau kalau ia sangat letih dipermainkan?

"Ada apa ini? Kenapa semuanya diam? Apa ada yg tidak kuketahui? ah, mungkin lebih tepatnya sesuatu yang belum aku tahu? Ayah, Bunda, kakak, sebenarnya kenapa?" Kepala Kiran berputar cepat, memandangi wajah-wajah yang menatapnya tak berdaya. "Lalu, kau! Kenapa bisa di sini? Untuk apa kau ke sini?" Ucapnya emosi sambil menunjuk lelaki yang menabraknya.

Semua mata yang tadi memandangnya, beralih kepada lelaki murung yang duduk di pinggir kasur, yang sekarang sedang terbelalak menatapi Kiran. Mata itu terperanjat.
"Kalian masih ingat satu sama lain?" Tanya ayah Kiran dan tuan Lans bersamaan.
Kiran menggeleng. "Apanya yang harus diingat, aku bahkan tidak mengenalnya. Hanya saja, tadi aku berpapasan di halte dengannya."
Tuan Lans mendesah, "kalau masih saling ingat, kalian bisa segera menikah akhir minggu ini!"

Dengan Dirinya [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang