Chapter 27

202 22 4
                                    


Sherin memandangi Mikha yang duduk dibalik meja kerjanya. Ia sama sekali tidak memedulikan kehadiran kekasihnya itu karena sejak tadi tetap sibuk menandatangani berkas, mengetik sesuatu di laptopnya, atau menjawab telepon yang tak hentinya berdering.
Mikha memang kenal profesional dan jarang menomerduakan pekerjaan. Untuk itu, Sherin yang sudah paham betul tabiat Mikha coba mengerti walau ia sudah menunggu empat puluh lima menit dan Mikha masih mendiamkannya, seperti tidak ada siapa-siapa di ruangan itu.

Sherin melirik jam yang terpajang di dinding, mulai bosan. Mikha belum menunjukkan tanda-tanda kalau dia akan selesai. Dia mendesah, sengaja dengan suara keras agar Mikha mendengarnya, tetapi tetap saja tidak mengubah apa pun.

Ponsel Mikha berdering lagi, untuk kesekian kalinya.
"Ya, Kiran?" Suara Mikha terdengar tak percaya.

Ada perlu apa gadis itu menelponnya?
Sherin, yang ikut mendengar percakapan itu jadi semakin gusar. Selama nama Kiran masih berkeliaran di sekitarnya, dia tidak akan bisa hidup tenang.

"Apa?" Terdengar Mikha menjerit dan pasti bukanlah karena sesuatu yang biasa saja.
Sherin semakin menajamkan pendengaran, tidak kalah cemasnya melihat ekspresi Mikha yang tidak biasa.
"Oke, aku akan ke sana sekarang," lanjut Mikha sambil menutup ponselnya. Ia segera berdiri dan meraih jas di gantungan.
"Ada apa?" Tanya Sherin begitu Mikha melangkah cepat menuju pintu.
Mikha menatapnya tak enak, "Maafkan aku, aku harus pergi sekarang juga. Ini masalah penting," jawabnya terburu-buru.
Sherin menahan lengan kekasihnya yang hendak pergi, "ada apa sebenarnya?" Kali ini, dengn nada memaksa.
Mikha menggeleng dan melepaskan cengkeraman Sherin dari lengannya, "nanti kuceritakan. Akan kita bicarakan setelah masalah ini selesai," jawabnya tenang dan keluar dari ruangan tanpa mengajak Sherin ikut serta.
Sherin merasakan dadanya sesak. Mikha benar-benar sudah mengabaikannya. Dan, ia tidak rela karena ini ada kaitannya dengan gadis itu, Kiran!

**

"Kak, kenapa bisa di sini, sih? Ya ampun, aku ngga busa percaya ini! Kau lupa ingatan, ya!" Tanya Kiran kesal sambil menghempaskan badannya di kursi sebuah restoran. Dia baru saja menjemput Ivan dan memutuskan untuk istirahat sebentar sekalian mengisi perut yang mulai lapar.
"Kenapa ngga ngasih tau aku kalau kau akan kesini?" Tanyanya putus asa.
Ivan balas menatapnya dengan wajah tanpa dosa, "kalau akau kasih tau, kamu pasti akan terang-terangan melarangku. Aku ini sudah kenal kamu sejak bayi dan aku ngga sebisoh itu!" Sahut Ivan tajam, lalu tersenyum senang karena berhasil sampai Jakarta dengan selamat.
"Lalu, kenapa kesini sih?" Tanyanya marah.
"Kan aku sudah bilang, aku ingin cari kerjaan!" Jawabnya santai.
"Dan ayah mengizinkan?"
Ivan mengangguk, "kurasa, karena kamu akan tinggal lama di Jakarta, jadi ayah mengizinkanku ke sini. Secara ngga langsung, ayah memintaku untuk menjagamu!" Katanya sin diplomatis.
Kiran mendecak berkali-kali, "kau sadar ngga, kau sangat merepotkan!"
Ivan hanya meringis.
Sebenarnya, Kiran tidak keberatan kalau kakaknya datang. Hanya saja, sekarang statusnya sudah tidak lakang lagi, yang keluarganya tau, dia sudah menikah dengan Mikha Angelo dan mereka tinggal serumah. Kenyataannya sekarang, dia sudah pindah.
Apa yang akan mereka lakukan juka Ivan mengetahui kepura-puraan mereka?
"Astaga, sekarang kita harus kemana?" Tanya kiran lebih kepada dirinya sendiri.
Ivan yang berhasil mendengar keluhan adiknya itu mengerutkan kening tak mengerti, "apa maksudmu dengan ke mana? Bukannya kita bisa langsung pulang ke rumah Mikha?" Tanyanya. "Lagian, untuk apa berlama-lama duduk di tempat ini, aku capek dan mau istirahat!" Tuturnya tanpa merasa bersalah sedikitpun.
Kiran menepuk lengan kakaknya kuat-kuat. "Jangan bicara lagi, kau sama sekali ngga mengerti apa-apa. Sekarang, makan saja makananny, setelah itu baru kita pulang," perintah Kiran tanpa memedulikan ekspresi Ivan yang meringis menahan sakit.

Pulang?

Ah, Kiran mendadak dilema. Pulang itu berarti kembali ke rumah Mikha. Ia tidak siap jika harus kembali berhadapan dengan pria penuh karisma itu. Bagaimana dengan perasaannya yang masih gamang ini? Basa-basi, dia terserang virus "tidak bersemangat" lagi.
Belum lagi hilang kekhawatirannya, tiba-tiba seorang pria yang sangat dikenalnya muncul dan segera menghampiri meja mereka. Kiran merasakan jantungnya berdegip cepat, ternyata hatinya sama sekali belum berubah. Dia masih merasakan apa yang tak ingin dirasakannya, cinta.
*

Dengan Dirinya [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang