"Selamat pagi, ayah! Bagaimana keadaanmu sekarang? Aku membawakan sup untukmu!" Ucap Kiran sambil meletakkan bungkusan yang ditentengnya dari rumah ke atas meja.
Lelaki tua yang masih berbaring di atas kasur tersenyum sedikit, "aku baru saja disuntik. Kau tau bagaimana rasanya, kan?" Tanya tuan Lans sambil memperlihatkan lengannya yang masih ditempel kapas kecil.
Kiran mengangguk, "rasanya pasti sakit."
Tuan Lans tersenyum, "apa kau sendirian?"
Kiran mengangguk, "aku tidak punya alasan untuk tidak menunjungimu." Ia berjalan mendekat dan melanjutkan, "bukan begitu, ayah mertua." Ia tergelak sendiri.
Tuan Lans ikut terkekeh pelan.
"Bagaimana dengan sarapan? Apa kau sudah makan? Aku dengar, sup bagus untuk kesehatan. Apa kau mau mencobanya sekarang?" Tawar Kiran sambil mengeluarkan beberapa kotak dari tas kain dan membawanya ke hadapan Tuan Lans.
Lelaki tua itu mengangkat ibu jarinya, "tentu saja aku mau mencoba masakan menantuku!" Ujarnya semangat.
Kiran membongkar isi tas, berusaha menemukan sendok. Namun, sepertinya, Kiran lupa membawa sendok. Ia menepuk kepalanya, "kenapa bisa lupa membawa benda satu itu!" Gumamnya sendiri.
Kiran meletakkan kotak ke atas meja dan mundur selangkah. "Ayah, aku permisi sebentar. Mungkin perawat di sini bisa memberiku sendok!" Pamitnya.Tuan Lans hanya mengerjapkan kedua matanya dan Kiran mulai berjalan menuju pintu. Entah memiliki tenaga dalam sehingga pintu yang terlihat berat itu menjadi sangat ringan ketika ditarik ke dalam. Kiran nyaris membentur pintu itu kalau tidak segera menghindar.
Saat pintu terbuka, Kiran tersentak. Menemukan sosok penuh karismatik di hadapannya secara tiba-tiba membuat Kiran kehilangan akal. Ia mematung, berusaha menarik ujung bibirnya ke samping, mencoba tersenyum.**
Setelah pagi-pagi sekali, Mikha ingin kembali ke kamar rawat ayahnya. Siapa tau ayahnya sudah bangun dan membutuhkan sesuatu.
Namun, saat hendak masuk, ia malah bertemu dengan Kiran yang membuka pintu dari kamar bernomer 97 itu. Mikha terpana, menyaksikkan penampilan gadis yang berdiri di hadapannya dengan wajah kaget dan tanpa riasan membuatnya menangkap sesuatu yang lain dari Kiran. Gadis itu terlihat sangat manis dan tulus."Selamat pagi, Mikha!" Sapa Kiran.
Mikha terkesiap dan membalas salam Kiran. "Kau ke sini?" Tanyanya tergagap.Kiran mengangguk dan berusaha menemukan celah untuk keluar agar bisa pergi dari kecanggungan antara dirinya dan Mikha. Pipinya mungkin sudah memerah karena malu. Wajar saja jika mereka saling canggung, menyadari bahwa mereka akan menikah membuat keduanya jadi risi dan tak enak hati.
Tuan Lans yang menguping dari atas kasur pura-pura tidak mendengar begitu Kiran menoleh kepadanya.
"Aku kesini membawakan sarapan untuk ayah...," ucapnya yang membuat kening Mikha berkerut,
"...dan kau!" Lanjut Kiran cepat.Mikha tersenyum dan menarik tangan Kiran keluar karena teringat satu hal. Ia menutup pintu ruang rawat ayahnya dan mengajak Kiran mengobrol sebentar.
Kiran menurut karena dia juga ingin mengatakan sesuatu pada Mikha tentang pernikahan mereka.
Mikha mengajak Kiran ke kafe rumah sakit.
Mereka terdiam. Seperti kehabisan kata-kata, padahal mereka belum mengucapkan apa-apa.
Mikha mendesah, setelah menunduk cukup lama. Sementara Kiran, entah kenapa merasa senang menyaksikkan sikap tenang Mikha yang tidak seperti kakaknya, Ivan."Aku ingin memastikan saja, apa kau serius menerima keputusan orangtua kita untuk menikah?" Mikha mulai buka suara, "maksudku, apa kau tidak akan menyesal Kiran?" Ia memperjelas.
Kiran tersenyum, "aku juga ingin membicarakan hal yang sama." Masih tersenyum, "menurutku, kalau aku menolak perjodohan ini, aku pasti tidak akan diizinkan kembali ke Jakarta. Hah, padahal libur sehari saja membuatku serasa ingin mati. Dan, jika aku menyetujui pernikahan kita, tentu akan sangat menguntungkan karena kita berasal dari tempat yang sama. Otomatis, aku bisa kembali lebih cepat ke Jakarta!" Jawabnya panjang lebar.
Mikha cukup cerdas untuk menangkap maksud Kiran yang sama dengan jalan pikirannya. "Jadi, maksudmu?""Baiklah, aku juga semakin yakin dengan keputusanku. Dan, tentang janji kita, jangan sampai ada yang tau!" Ucap Mikha sambil memajukan kepalanya. Mikha sudah memutuskan ini semalam. Ia sudah mantap dengan keputusannya. Ya, walau secara tak langsung dirinya sudah mengkhianati Sherin, tapi ia melakukannya karena alasan kuat. Lagi pula, ini kan hanya untuk sementara.
Kiran refleks mendekat dan segera mengacungkan ibu jari. "Aku tau!" Ia mengangguk cepat.Menikah bukanlah suatu kesalahan jika diputuskan dengan benar.
**
Malam ini di rumah sakit, setelah menyantap makanan buatan Kiran, dua anggota keluarga itu berunding lagi. Tuan Lans dan Tuan Bram sebagai kepala keluarga yang memimpin perundingan. Sementara Ivan, Mikha dan Kiran berdiri diam sambil melipat tangan. Begitu juga dengan Nyonya Bram yang masih sedikit khawatir akan pernikahan putrinya.
"Jadi, kita berikan saja kebebasan kepada mereka untuk memilih tempat tinggal setelah menikah!" Ujar Tuan Lans yang segera dilanjutkan oleh Tuan Bram, "ya, walau sebenarnya aku mengharapkan Kiran bisa tinggal di Bandung, tapi sepertinya sangat mustahil karena Mikha punya perusahaan di Jakarta."Kiran dan Mikha mulai saling melirik, mendengar keputusan apa saja dari mulut kedua tetua itu dan berjanji untuk menyetujui apa pun keinginan mereka. Mereka ingin cepat-cepat kembali pada rutinitas.
"Jadi, bagaimana dengan waktu pernikahan? Bukankah kita akan melaksanakannya segera sebelum mereka berdua berubah pikiran?" Sahut Tuan Lans yang disambut gelak tawa semua orang, kecuali Nyonya Bram- dia masih belum yakin.
"Hmm..., Kiran, apa kau tak ingin mengucapkan sesuatu?" Tanya Nyonya Bram dengan muka pias.
Kiran yang baru saja mengulum senyum segera membuka mulut lagi. "Bunda, aku percaya pada ayah dan Tuan Lans. Mereka tak akan menjerumuskanku. Mikha tentu lelaki yang baik hingga ayah tak membiarkanku untuk memilih calon suami sendiri!" Ia coba meyakinkan.
"Dan, tentu Kiran adalah calon istri yang baik juga sampai ayah memaksaku untuk tetap menikah!" Sahut Mikha tulus yang membuat Kiran tersentak, untung Mikha cukup bisa berpura-pura.Ivan yang bisa membaca gelagat aneh dari keduanya yang lebih muda daripada dirinya itu segera melayangkan pandangan kepada Kiran, adiknya. "Kau yakin ingin segera menikah? Aku heran melihat kalian berdua, baru kenal kemarin kenapa bisa sangat yakin untuk menikah? Kau juga, padahal kau sangat marah saat mendengar akan dijodohkan. Lalu, setelah menghilang dari kami semua, kalian kembali dan mengatakan kalian mau menikah. Agak mencurigakan!" Ivan menoleh kepada Kiran, lalu gantian menatap Mikha. Keduanya mengelak saat ditatap penuh curiga seperti itu.
Suasana jadi kaku karena kelihaian Ivan membaca situasi. Nyonya Bram yang juga merasakan hal sama mulai bertopang dagu. "Apa kau merahasiakan sesuatu dariku?" Tanyanya akhirnya.
Tubuh Kiran menegang, seperti disetrum listrik ratusan volt.
"Kiran! Kau tidak kenapa-kenapa?" Bundanya bertanya lagi.Tuan Lans dan Tuan Bram juga tertarik dengan analisis yang barusan terdengar. Buktinya, mereka hanya diam dan tak ingin membantah.
Kiran menyikut Mikha sebentar, lalu mencoba buka mulut. "Tidak Bunda! Ini bukan seperti yang kalian pikirkan. Hmm... Apa salah jika aku berubah pikiran?" Kiran tergagap, tetapi berusaha menahan suaranya agar tidak gemetar. "Aku, tentu saja menerima perjodohan ini karena, karena... Menyukai Mikha!" Kepalanya tertunduk setelah itu karena malu. Apa pun akan dilakukan Kiran untuk membuat semua orang percaya bahwa dia benar-benar mau menikah dengan putra Tuan Lans.
"Kami coba saling mengenal kemarin dan hasilnya aku cukup tertarik kepada Kiran dan dia sepertinya juga begitu. Lagi pula, bagaimana mungkin kami bisa menentang keinginan ayah dan ayah mertua?" Kali ini, giliran Mikha yang menguasai keadaan dan berusaha menyampaikan dengan sopan agar tidak ada yang curiga.Tuan Lans dan Tuan Bram mengangguk senang, diikuti oleh anggukan Kiran yang mencoba menebar senyum. Sementara Ivan dan Nyonya Bram, masih berdiri diam dengan ekspresi berbeda.
"Sudah, kalian berdua jangan lagi berpikiran yang macam-macam!" Ucap Tuan Bram kepada putra dan istrinya. "Lagi pula, pertemuan ini ingin memberitahukan waktu pernikahan kedua calon mempelai!" Lanjut Tuan Bram yang disambut kaget oleh Kiran dan Mikha. Mereka memang sadar akan tibanya hari ini, tetapi juga tak menyangka kalau hari itu bakal datang secepat ini.
"Kapan?" Nyonya Bram yang lebih dulu menyampaikan rasa penasarannya.
Tetua itu saling melempar pandang dan memutuskan bahwa Tuan Bram akan menyampaikan berita bahagia itu karena kesehatan Tuan Lans.
"Mengingat kesehatan Lans yang tidak bisa diprediksi, jadi kami ingin menghadapi keadaan terburuk. Maka, kami ingin pernikahan antara Kiran dan Mikha dilaksanakan minggu depan!"/////
Hai yang baru baca, sebenernya fanfiction ini udah ada disalah satu twitter fanbase TheOvertunes (TulisanTunist) aku repost lagi karena ada beberapa bagian yg typo banget, hehe...
Yang udh baca minta coment sama vote nya yaa :)) tq
KAMU SEDANG MEMBACA
Dengan Dirinya [COMPLETED]
FanficYa, ia harus mulai menata hidup kembali, bersama suaminya-- Mikha Angelo. Started : 2015 Okt' 22 Finish : 2016 Jun' 12