Chapter 24

196 19 1
                                    

"Apa? Perjalanan dinas?" Pekik Kiran kaget saat sekertaris Reuben memberi taunya bahwa Reuben tak ada di kantornya.
Kiran menunduk sedih, harapan untuk membagi kisah bahagia semenenakjubkan sekarang pupus sudah. Ia ingin membahagiakan sahabatnya itu karena sekarang Kiran tau bagaimana rasanya diabaikan. Jadi, ia tak ingin orang lain ikut merasakan penderitaan, apalagi karena dirinya.

Ia menggigiti bagian dalam bibirnya perlahan. "Hmm..., apa kau benar-bebar tak ingin memberi tauku dimana dia sekarang?" Pintanya penuh harap.
Sekertaris berwajah bundar itu menggeleng perlahan. "Maaf, aku benar-benar tak bisa memberi tau lokasi perjalanan dinas. Bukan karena aku pribadi, melainkan memang peraturan kantor yang mengharuskan kami bersikap begitu," tolaknya sopan.
Kiran mengerti dan tak ingin memaksa. Jangan sampai sekertaris ini dipecat gara-gara dia memaksa. "Tapi, kenapa aku tidak bisa menghubunginya, ya? Apa kau tau nomer ponsel Reuben yang baru?" Hati-hati, Kiran mengatur nada suaranya.
Si sekertaris menggelengkn kepala lagi, "setauku, direktur tak pernah punya nomer lain selain nomer yang sekarang!"
Oke, seharusnya Kiran tau karena itu adalah nomer pilihan mereka berdua saat kuliah dulu.
**

"Akhirnya, kau pulang juga!" Sapa Kiran pada pemilik derap langkah yang berasal dari arah belakang. Ia yang sedang duduk bersila di depan kolam teratai tersenyum kecil tanpa menengok kepada orang yang baru saja lewat, orang yang sejak tiga jam lalu ditunggunya.
Yang ditegur mendadak kaget dan menghentikan langkah. Mikha menyipitkan mata, berusaha menajamkan penglihatan dalam gelap. Ternyata, benar, suara perempuan yang baru saja menyapanya memang milik Kiran.
"Kau sudah pulang?" Tanya Mikha balik dan mengurungkan niat masuk kamar. Ia memutar tubuh dan ikut duduk bersama di sana, di atas tanah dengan posisi kaki teruntai.

"Kau sudah pulang?" Tanya Mikha balik dan mengurungkan niat masuk kamar. Ia memutar tubuh dan ikut duduk disana, di atas tanah dengan posisi kaki teruntai.
"Kenapa tidak masuk? Kau bisa masuk angin kalau duduk diluar begini!" Ucapnya, bukan dengan nada khawatir, melainkan lebih seperti sebuah perintah.
Mikha menatap Kiran, tetapi gadis itu tak balas menatap. Ia terus menatap ke depan, memperhatikan kelopak teratai yang mulai mekar dengan pikiran yang merambat kemana-mana. Namun, tetap saja, keinginannya saat ini adalah menyelesaikan masalah yang telah dibuatnya sendiri. Untuk itu, jika ia bisa menuntaskan persoalan ini dengan Mikha, otomatis permasalahan dengan Sherin dan Reuben juga ikut reda.

"Hei! Kau melamun?" Kali ini, Mikha coba menarik perhatian Kiran dengan sebuah sikutan yang ternyata berhasil. Ia kehilangan keseimbangan dan terdorong ke kanan, seketika juga khayalan gadis itu pecah dan kembali pada kenyataan.
Kiran tersadar, lalu mereka tertawa sebentar. Mikha berdeham dan meraih tasnya yang tergeletak ditanah dan bermaksud bangkit.
"Ayo masuk, aku ingin segera istirahat!" Ajaknya yang disambut helaan napas Kiran.
Mikha mengabaikan dan benar-benar mengulur langkah manjauhi kolam.
"Aku akan pindah," tukas Kiran pelan. Ia benar-benar berat untuk mengatakan itu, tetapi ia harus melakukan demi kebaikan bersama.

Mikha segera menghentikan langkah.
"Bukan apa-apa, aku hanya ingin semua orang bisa tidur nyenyak. Kurasa, kau tau apa maksudku!" Lanjutnya tanpa berani memandang Mikha. "Oh ya, masalah perceraian kita, kuharap kau tak melupakannya. Lelaki sejati tak akan mengingkari janjinya, kan?" Kiran benar-benar membenci dirinya yang munafik.

Suara-suara jangkrik mulai mengisi kekosongan yang sesaat tercipta di antara mereka.
"Apa kau benar-benar ingin melakukannya?" Suara dingin. Yang tiba-tiba itu membuat Kiran semakin beku.
Ia berusaha menguatkan tekad, mengucapkan satu kata yang sangat bertentangan dengan hatinya. "Ya!" Kiran memejamkan mata, menunggu reaksi Mikha. Tetap saja, ada sedikit harapan agar Mikha mau menahannya. Tetap saja, ada sedikit harapan agar Mikha mau menahannya untuk tetap tinggal.
"Kalau kau benar-benar mau...."

Kiran semakin rapat memejamkan mata. Apa pun yang akan disampaikan Mikha, ia akan menerima dengan lapang dada tanpa perlu sakit atau patah hati. Ia harus tegar demi semua orang yang memperhatikannya. Jadi, ucapan satu orang yang sangat mengabaikan tak boleh membuatnya kehilangan semangat.
"... lakukan saja!" Mikha yang sejak tadi memunggungi Kiran melangkah masuk dan meninggalkan Kiran yang terkurung sepi dalam gelap.
Kini, Kiran mulai sadar, ternyata ia lebih memedulikan satu orang daripada banyak orang yang menaruh perhatian padanya. Satu yang membuat segalanya berubah, satu yang menajadikannya rapuh, juga satu yang membuatnya jadi sering meneteskan air mata. Bukan air mata haru atau bahagia, hanya luka dan derita yang ditorehkan tanpa perlu tersayat. Kiran tau bagaimana rasanya. Perih yang akhir-akhir ini sering melandanya. Mungkin juga melanda orang-orang yang terlibat dalam cinta segi milik mereka.
**

Dua gelas air dingin berhasil membasahi kerongkongan Mikha yang kering. Sesaat kemudian, ia segera menjatuhkan badan di sebuah kursi kayu yang diletakkan di sebelah lemari pendingin. Mikha mendadak linglung.
Ucapan Kiran barusan sangat mengganggu pikirannya.
Kiran akan pindah dan melepaskan ikatan mereka. Cepat atau lambat, hal ini pasti akan terjadi, hanya saja Mikha tak mengira akan secepat ini. Ia memijit keningnya dengan perasaan gundah. Oh, kenapa dia jadi bimbang sekarang? Bukankah Mikha bisa dengan mudah melepaskan Kiran karena dia sudah punya Sherin? Lagi pula, Kiran juga sudah punya pacar. Perpisahan memang jauh lebih baik.
"... lelaki sejati tak akan mengingkari janjinya, kan?" Pertanyaan Kiran kembali tergiang dalam kepala mikha.
Entah kenapa, Mikha sedikit menyesal dengan janji yang dulu pernah diucapkannya untuk membujuk Kiran. Janji itu, terasa sangat berlawanan dengan hatinya.

**

"Maaf, direktur kami tak bisa menemukan ponsel anda!" Ucap salah seorang pria berperawakan besar.
Lelaki yang dipanggil direktur itu merengut dan memeberi isyarat si tinggi besar keluar. Dia menurut dan meninggalkan Reuben sendirian dikamar hotel.

Ia mematut bayangannya dicermin. Namun, aneh, bukan pantulan dirinya yang ia temukan, melainkan bayangan Kiran yang beberapa hari ini tak diberinya kabar. Reuben sedikit cemas jika memikirkan Kiran akan kalang kabut mencarinya, tetapi setelah itu ia sadar bahwa Kiran tak akan penah mengkhawatirkannya. Reuben saja yang terlalu berlebihan menilai seseorang tak pernah bisa dipahaminya.
Lamunan Reuben terhenti ketika telepon dikamarnya berdering.

"Hallo," ucapnya rendah, Kiran selalu bisa membuat Reuben jadi pribadi yang berbeda. Hanya dengan memikirkannya saja, ia bisa jadi tak bersemangat.
Suara di seberang tersengar hormat. Pegawai yang menjelaskan jadwal harian mereka yang akan berakhir besok pagi. Reuben mengangguk-angguk dan tertawa sumringah. Ia mengakhiri pembicaraan dengan mulut terbuka lebar.
"Akhirnya, aku bisa pulang! Baiklah, Kiran, aku akan menemuinya setelah pertemuan kita yang terakhir!"
Ia tersenyum lama sampai akhirnya tertidur di sofa.
Pertemuan terakhir mereka memang bukan pertemuan yang bisa dikenang. Saat itu, Kiran sedang ptah hati dan Reuben dengan tidak jantan meninggalkan gadisnya itu sendirian dirumah sewanya. Setelah itu, mereka tidak pernah bertemu atau saling menelpon. Menjadi sangat sial karena Reuben yang sangat tidak hati-hati meninggalkan ponselnya entah dimana. Membuatnya tak bisa menghubungi Kiran karena semua tentang gadis itu juga tinggal di dalamnya.

**

Sudah empat hari Reuben masih menonaktifkan ponselnya!
"Untuk apa orang ini menggunakan ponsel kalau untuk dimatikan! Dasar lelaki aneh! Awas kau, Ben, pulang nanti akan kuhabisi kau!" Rutuk Kiran sambil melempar ponsel.
Sarapan yang baru saja disiapkannya mendadak tidak menarik karena selera yang tiba-tiba hilang. Ia melangkah menuju ruang tengah dan menekan tombol on pada televisi dengan kasar. Agak malas-malasan, Kiran melemparkan tubuh ke atas sofa dan meraih remote yang tergeletak di atas meja.
Namun, bukannya senang, Kiran malah makin kesal karena remote yang tak lagi berfungsi. Ia memukul-mukul benda penuh nomer itu dan mencari mencari-cari tempat baterai. Namun, entah karena dia telalu marah dan kesal, pekerjaan mudah terasa sangat susah, hingga dia tidak bisa menemukan tempat baterai.
Kiran yang pandangannya sejak tadi tertuju pada televisi segera mengalihkan pandangan pada benda yang tengah dipegangnya.
Sesaat, mulutnya bungkam dengan mata terbelalak.
"Astaga!" Teriaknya, tetapi tersenyum senang.
Ia berdiri dan melonjak penuh energi, bahkan tanpa sadar berjalan ke meja makan dan menyantap sarpan yang tadi sempat dilupakannya. Kiran mendadak semangat.
Ponsel Reuben tertinggal di sofanya.

Dengan Dirinya [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang