The Tragedy

171 21 1
                                    

Dia melihat kekiri dan kekanan untuk memastikan bahwa tak ada orang yang melihatnya.

Dengan perlahan, dia membuka kotak itu.

Dan...

Isinya kosong.

***

Isinya kosong.

Ya, ampun! Isinya kosong melompong! Padahal kukira bakal terjadi hal yang menakjubkan seperti dicerita-cerita fantasi itu loh!

Huft...yaelah...

Ngomong-ngomong, kotak ini punya siapa ya? Kok ada disini sih? Jika dilihat lebih teliti, kotak ini sepertinya bukan kotak 'biasa'. Kotak ini mirip kotak harta karun (?).

Ya, sudahlah... aku bawa pulang saja dulu. Nanti aku cari pemilik aslinya.

***

Pagi ini, kami makan bersama dengan Riki dan Rei. Vanka yang mengundang mereka. Seperti biasa, Riki terlihat pendiam dan tidak memedulikanku (yang satu ini membuatku merasa sangat tidak nyaman). Sementara itu, Rei yang selalu santai nampak terlihat cengar-cengir.

"Hei, drama kita kemarin malam sukses besar ya!" Vanka membuka percakapan.

"Ya, semua penonton pertepuk tangan kepada kita!" Seru Rei lalu melahap sesendok cornflakes-nya.

Oh tidak, mereka membicarakan tentang drama kemarin malam. Sejujurnya, aku tak ingin membahas hal yang satu ini, aku merasa tidak enak telah meninggalkan teater ditengah cerita karena urusan pribadi.

"Oh, iya, Liz, sebagai penonton, bagaimana pendapatmu dengan drama kami?" Tanya Liz.


Tuh, kan, mereka pasti akan menanyaiku tentang hal ini.

"Apa?"

Sebelum aku menjawab pertanyaan Vanka, ada suara lain yang menyahut. Riki.

Kami semua menatap kearah Riki. Kaget karena ia tiba-tiba berbicara.

"Kamu..." lanjutan kalimatnya tercekat. Jari telunjuknya menunjuk ke arahku. Matanya menatap lekat-lekat kepadaku. Sebenarnya ada apa?

"Kamu... menonton drama itu?" Dia menyelesaikan kalimatnya. Pertanyaan yang aneh, memangnya kenapa kalau aku menonton drama itu?

"Uhm... iya..." jawabku sedikit gugup karena sikapnya.

Seketika raut wajah Riki berubah. Dia terlihat seperti jengkel atau kecewa atau malu atau marah atau entahlah -raut wajahnya sulit ditebak.

Beberapa detik kemudian, Riki menundukkan kepalanya. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena wajahnya tertutupi oleh poninya yang panjang.

Kami semua terdiam karena bingung.

"Eh! Ah! Iya!" Tiba-tiba Rei berteriak memecahkan suasana. "Ehh... umm... Vanka, Liz, sepertinya Riki sedang shock. Kami duluan dulu ya, bye!" Katanya lalu berjalan merangkul Riki keluar dari ruang makan secepatnya.

Shock? Shock karena apa?

Aku dan Vanka menatap kepergian Riki dan Rei dengan bingung. Sesekali, Rei mengatakan,"Bertahanlah, bro!" Kepada Riki yang masih tertunduk.

Pandora BoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang