Adventure (1)

155 19 0
                                    

"1...2..." Vanka menghitung mundur entah mengapa. Aku yakin dia ketakutan setengah mati. "...3...!"

   Dan pintu terbuka. Dan dua sosok berjubah hitam menyerbu masuk ke dalam kamar kami.

   "Kyaaaaaa!!!"

   Dua sosok berjubah hitam menyerbu masuk ke dalam kamar kami. Vanka berteriak sangat kencang dan melengking. Salah satu dari sosok berjubah hitam itu segera menutup pintu kamar kami dan seorangnya lagi menutup mulut Vanka.

   Mati aku... aku hanya bisa membeku di tempat. Apa yang harus kulakukan?! Pembunuh itu masuk ke dalam kamar kami! Apa kami akan dibunuh juga? Atau kami akan dijadikan sandera?!

   Papa, Mama, aku belum ingin mati!

   "Ssst...!  Diam ! Nanti para guru datang!"

   Heh? Sepertinya aku mengenal suara ini...?

   Sosok berjubah hitam yang menutup mulut Vanka itu melepaskan hoodie nya dan ternyata itu Rei!

   "Apa?!"

   Kalau yang ini Rei, berarti yang satu lagi pasti...

   "Riki?!"

   "Apa yang kalian lakukan?!" Vanka menggertak Rei yang berada di depannya. "Ini... ini asrama perempuan tahu?!"

   Ya ampun,  kejadian apa lagi ini? Kenapa dua cowok ini ada di kamar kami?! Dan... hei, ini asrama perempuan!

   "Maaf... kami hanya..." Rei berusaha menjelaskan tapi... Bletak! Vanka sudah memukuli kepalanya dengan gulungan majalah yang entah aejak kapan berada di tangannya.

   "Kalian sudah membuatku ketakutan setengah mati, bodoh!"  Gertak Vanka. "Dan... apa yang kalian lakukan disini?! Ini kamar perempuan bodoh! Pergi kalian! Dasar mesum!"

    O-ow... sepertinya mereka telah membangunkan singa yang tertidur...

   "Tunggu aku bisa menjelaskan semua ini...!" Rei terus memohon belas kasihan Vanka.

    "Pergilah! Sebelum aku menelepon polisi!" Ancam Vanka.

   "Sudah kubilang ini ide yang buruk," celetuk Riki tiba-tiba dengan menghela napas panjang.

   Ide? Ide apaan? Perlahan, rasa takut dan kagetku memudar dan berubah menjadi penasaran.

   "Kumohon, dengarkan aku, Van, kami sudah bersusah payah menghindari penjaga asrama hanya untuk bertemu kalian."Rei masih saja memelas. Dia memohon pada Vanka dengan mata puppy eyes.

   "Aku tidak ped-"

   "Sudahlah, Van, aku juga ingin mendengarkan penjelasan mereka." Celetukku. Seketika, semua mata menatapku dengan heran. Seolah-olah baru saja menyadari keberadaanku karena daritadi aku hanya diam. Sebenarnya,aku agak kasihan melihat Rei dipukuli terus oleh Vanka (walau dia memang salah sih,) dan disisi lain, aku sangat penasaran dengan apa yang membuat mereka datang ke kamar kami, dan bahkan rela mati-matian menghindari penjaga asrama yang terkenal galak itu hanya untuk mendatangi kami. Hal itu pasti sangatlah 'besar'.

   "Tapi..." Vanka ingin menyangkal. "Uuh, sudahlah." Dia menyerah, aku tahu dia juga penasaran.

   Kami akhirnya duduk melingkar agar bisa melihat satu sama lain. Dan Rei memulai pembicaraan. "Apakah kalian tidak penasaran?" Dia menanyakan hal yang aneh.

    "Penasaran untuk apa?"  Tanya Vanka.

   "Pada pelaku pembunuhan itu." Kata Riki melanjutkan. "Tadi pagi, aku dan Rei melihat beberapa anak AzCa di bawa ke ruangan rapat beberapa jam setelah pembunuhan itu."

   Oke,  itu kalimat  terpanjangyang dikatakan Riki sejak  aku bertemu dengannya.

   "Maksud kalian?"

   "Kita akan berpetualang di sekolah mencari tahu siapa pembunuh sebenarnya!" Seru Rei dengan semangat menggebu-gebu.

  

   "Hahahaha!!!" Tawa Vanka menggelegar di tengah hujan deras. Ya, aku juga berpikir itu ide yang bodoh. "Yang benar saja! Mencari pembunuh sebenarnya?! Apa kalian bodoh?! Mungkin saja pembunuh itu masih berkeliaran di luar sana dan kalian ingin berpetualang?!"  Ada yang aneh dengan nada bicara Vanka. Sepertinya dia sedikit cemas. "Ayolah, teman, jadilah dewasa sedikit!"

   "Kami serius, Van!" Sergah Rei. "Ayolah, mana jiwa berpetualangmu!"

   "Ini bukan waktu yang tepat , Rei." Sanggah Vanka. "Ini bukan saatnya bermain detektif-detektifan!"

  "Baiklah!" Rei berdiri tiba-tiba. "Kalau kalian tidak mau ikut, kami saja yang pergi...!"

   "A-apa?"

   "Kami sudah datang sejauh ini, dan aku tak ingin melewatkan kejadian ini." Ucap Rei penuh keberanian. "Apapun yang terjadi, kami akan tetap pergi.

   Whew... dia sangat nekat.

   "U-uh..." Vanka terlihat sangat berpikir keras. Sepertinya dia sangat tidak ingin kedua anak itu pergi. Dia sangat mencemaskan keselamatan mereka. "Baiklah... aku juga ikut!"

   "A-apa?"

   "Aku akan ikut dengan kalian." Tegas Vanka. "Aku tidak bisa membiarkan anak seceroboh kalian berkeliaran di luar sana. Apapun yang terjadi, aku harus menjaga kalian agar kalian tidak bertindak gegabah!"

    Rei tersenyum puas. Sepertinya dia sudah memperkirakan Vanka akan mengatakan itu.

   "Baiklah..." ucap Vanka. "Bagaimana denganmu?" Dia menatap padaku. "Apa kau akan tetap tinggal disini?"

   Eh? Aku?

   Aku sangat ingin pergi juga, sepertinya ini akan sangat menyenangkan berpetualangan di gedung sekolah yang sepi. Tapi, disisi lain juga keselamatan kami akan terancam. Bukan cuma itu, jika kami ketahuan keluar dari kamar , kami pasti akan dihukum berat.

   "Aku..."

   Tapi, jika aku tetap tinggal di kamar sendirian,  keselamatanku pun bisa saja terancam. Tapi, jika aku ikut dengan mereka itu lebih beresiko lagi.

   Apa... yang harus kupilih?

   Tinggal atau pergi?

  
  

   Baiklah...

   "Baiklah, aku akan ikut dengan kalian juga."

***To be continued***

Author's Note:
Maaf~! Kemarin gak sempat update! Ini dikarenakan tugas menumpuk author, sekali lagi maaf ya~~!!

(Haruna_ika , 28 - Maret- 2016)



  
  

Pandora BoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang