Towards

65 10 7
                                    

   Saat Liz kembali ke kamarnya, ternyata Vanka telah berada di kamar. Vanka terlihat begitu khawatir pada Liz. Bagaimana tidak, teman sekamarnya itu tiba-tiba saja menghilang ketika dia pulang. Dia terus menerus memarahi Liz untuk tidak pergi tiba-tiba lagi, atau dia akan memukul Liz bertubi-tubi.

   Liz hanya bisa tertawa canggung dan pasrah ketika dimarahi oleh Vanka. Ia tahu, dibalik kelakuannya yang hyperactive itu, Vanka memiliki sisi keibu-ibuan yang konyol.

   "Jadi?" Vanka berkata di tengah-tengah kemarahannya. "Mengapa kau keluar kamar tanpa memberitahuku?"

   "Aku tadi bertemu dengan Ketua Osis." jawab Liz singkat. dia berjalan menuju tempat tidurnya, dia merasa begitu lelah hari ini.

   "Aneh, kenapa dia menemuimu?"

   "Entahlah." Liz berbaring di tempat tidurnya. Memang aneh, apalagi kalimat terakhir yang diucapkan Agria kepadanya sebelum dia kembali ke kamarnya. Liz sama sekali tidak mengerti maksud dari kalimat itu. Agria merupakan orang yang baik,Liz tahu itu -ia bisa merasakannya. Namun entah mengapa, ia merasa Sang Ketua Osis itu menyembunyikan sesuatu. 

   Tiba-tiba Liz bangun dari baringannya. Dia hampir telah melupakan sesuatu yang penting!

   "Vanka!" Liz berseru memanggil nama temannya itu. Vanka, yang tengah memakai piyama itu sedikit tersentak. Ini pertama kalinya Liz memanggil namanya dengan semangat yang membara seperti itu.

   "Ada apa?" Vanka menatap Liz. Dan saat itulah ia menyadari wajah Liz yang bersemangat itu. Senyuman lebar menghiasi wajah Liz,  dan matanya membara bagaikan -bagaikan matahari, pikir Vanka.

   "Aku telah memecahkan misteri dari Pak Tua Bernard!"

   Vanka membelalak, "Benarkah!?" dengan suara yang tak kalah bersemangat, ia bertanya pada Liz.

   Liz mengangguk mengiyakan. Dia masih tidak yakin apakah jawabannya betul. Namun setidaknya hanya itulah satu-satunya petunjuk yang bisa menuntun mereka ke sisi lain dari misteri ini.

   Liz menarik napasnya, bersiap untuk menjelaskan. "Jadi teka-teki yang diberikan Pak Tua Bernard berbunyi seperti ini ; 'Jika kalian ingin kesana, hanya ada dua cara, nekat dan membuat masalah. Pilihlah salah satunya. Jangan melakukan kedua-duanya sekaligus, jika kalian ingin kesana, ke tempat dimana kunci terbesar tersimpan di balik dinding pengetahuan itu.' kan?"

   Vanka mengangguk, agak tak sabaran.

   "Awalnya, aku berpikir untuk mencapai ruang itu, mengapa kita hanya diberi dua jalan; nekat dan mencari masalah. Mengapa kita tak bisa memasukinya dengan biasa saja? Mengapa kita harus nekat?  Apa yang akan terjadi jika kita memasukinya?
  Jadi, aku mengambil kesimpulan, bahwa ruang yang dimaksud adalah ruang dimana siswa tak boleh memasukinya tanpa izin dari guru atau staff sekolah lain, ruang dimana jika ada siswa memasukinya maka mereka akan mendapatkan masalah."

   Liz memberikan jeda, memberikan waktu agar Vanka bisa mencernanya. Setelah menerima anggukan yakin dari Vanka, Liz melanjutkan;

   "Namun ruang-ruang yang tak boleh dimasuki oleh para siswa di sekolah ini ada banyak. Ruang staff, gedung asrama guru, Ruang Briefing guru, ruang BK, gudang penyimpanan staff, dan lain-lain. Ada begitu banyak, sehingga sangat sulit menentukan yang mana ruang yang dimaksud itu."

   "Tentu, ada banyak dokumen-dokumen sekolah yang dijaga ketat oleh pihak sekolah -entah mengapa." Kata Vanka, sembari duduk di kursi belajarnya, dan menghadap ke Liz yang tengah duduk di atas tempat tidur. Dahinya terlihat sedikit berkerut, dan matanya tajam. Ini pertama kalinya Liz melihat Vanka seserius itu -Vanka yang notabenenya selalu saja easygoing dan sulit diajak serius itu kini ikut mendalami teka-teki ini. Mungkin karena mereka ikut terbawa suasana, atau karena misteri ini benar-benar menarik perhatian mereka. Namun kedua hal itu terasa tidak penting lagi bagi Liz. Saat ini, ia merasa begitu bergairah-atau bersemangat-atau-entah bagaimana ia menjelaskan perasaannya saat ini. Ia merasa dirinya dan Vanka seperti detektif-detektif di buku-buku misteri yang sering ia baca. Membayangkan hal itu membuatnya merasa dirinya benar-benar hidup.

   "Disaat itu, aku teringat pilihan yang satu lagi itu ; mencari masalah. Aku masih tak mengerti awalnya, kenapa kita harus mencari masalah untuk memasuki ruangan itu. Atau dengan kata lain, hanya anak-anak yang bermasalah dapat memasuki ruangan itu. Dan tentunya, anak-anak yang bermasalah akan selalu dibawa ke..." Liz menggantungkan kalimatnya. Menunggu kepahaman Vanka terhadap teorinya.

   Vanka terlihat berpikir keras, dan beberapa detik kemudian, wajahnya menjadi cerah, seolah-olah sebuah lampu ide keluar dari kepalanya. Liz yang menyadari bahwa Vanka telah mendapatkan jawabannya ikut tersenyum gembira. Dan dengan bersama-samaan, mereka menyerukan jawabannya;

   "Ruang Bimbingan Konseling!"

***To Be Continued***



Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 08, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pandora BoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang