My Rival

81 10 0
                                        

Hope you like it!

"Love me or hate me. Both are in my favour. If you love me, I'll always be in your heart. If you hate me,  I'll always be in your mind."

----------------------------------------

Beberapa hari berlalu semenjak taruhan untuk mendapat ranking satu, aku bersaing dengan Justin Morse. Tidak di sangka sangka kalau Justin Morse adalah cowok yang bisa dibilang jenius. Yah, aku tidak terlalu mau mengakuinya. Tapi aku tidak akan menyerah. Aku tidak akan kalah. Karena bagaimana pun ini seperti pertarungan hidup dan mati. Aku saja lebih memilih mati darpada si Morse urakan itu menang. Tidak akan kubiarkan! Baik sampai titik darah penghabisan!

Saat ini aku sedang memperhatikan penjelasan yang diberikan oleh guru biologi yang diajar Bu Vivian.  Aku berusaha menahan kantuk yang menyerang dengan dahsyat karena aku tidak ingin ketinggalan pelajaran. Tapi sepertinya pikiran orang sinting di sampingku bertolak belakang.

Selagi Bu Vivian menjelaskan, dia malah tidur.  Ya, si sinting itu adalah Justin Morse. Aku tahu dia jenius. Tapi setahuku orang jenius juga perlu belajar dan mendengar pelajaran bukan? Entahlah, aku tidak peduli. Bagus kalau dia tidur. Itu berarti dia akan ketinggalan pelajaran Bu Vivian dan mungkin tidak akan mengerti apa yang diajarkan Ibu itu, meskipun aku ragu kejeniusannya akan berkurang.

Aku memperhatikan wajah Justin Morse sekilas. Menurutku wajahnya cukup manis. Aku benci mengakuinya tapi wajahnya memang mengingatkanku akan wajah Zayn. Mungkin ada beberapa perbedaan.  Tapi, tidak terlalu mencolok. 

Mungkin...entahlah...

Tiba tiba Justin membuka matanya dan langsung menatapku yang sedang memperhatikannya. Dia duduk tegak dan mengangkat sebelah alisnya. 

Aku balas dengan mengangkat daguku angkuh. "Oh, ternyata kau sudah bangun, Morse. Kukira kau akan tidur disini sampai seharian."kataku sinis.

Justin terkekeh. "Tidak masalah jika aku tidur disini sampai seharian. Tidak ada yang melarang bukan?"

"Yayaya, terserah!"Aku mengibaskan tangan di udara lalu kembali menatap ke arah Bu Vivian yang sedang mengajar. 

Aku mendengar Justin tidak bicara ataupun mengangguku selama beberapa menit penuh sebelum dia menyeletuk. "Hei, jangan terlalu serius begitu. Nanti kepalamu akan semakin membesar dan menjadi pecah jika harus menampung seluruh pelajaran itu."

Aku mengerucutkan bibirku, kesal tentunya. "Daripada otak kosong yang tak berguna, Morse?"

"Yah, menurutku lebih baik otak kosong daripada memiliki otak yang hampir pecah seperti balon. Sekali di kasih tekanan sedikit, dia akan pecah seperti ini."Justin membuat gerakan heboh dengan gerakan meletuskan sebuah balon besar.

Aku berusaha menahan senyum melihat kelakuan yang menurutku aneh tapi lucu itu. "Sudah selesai berceramahnya, Morse?"tanyaku dengan wajah datar. 

Justin mengangguk singkat Dia kembali diam. Aku juga kembali menatap ke depan kelas.

"Aku akan selalu menunggumu."katanya tiba tiba menggunakan bahasa Prancis yang tak tercela. Wah, hebat juga dia! Tapi sepertinya aku mengenali kalimat bahasa Prancis itu. 

Aku segera menoleh ke arah Justin dan meilhat dia sedang membaca sebuah kertas kecil berisi quotes quotes bahasa Prancis. Kontan aku  mengambil paksa note kecil yang di pegang Justin. "Jangan menyentuh barang pribadi milikku, Morse."kataku dingin menggunakan bahasa Prancis.

"Aku tidak tahu kau bisa berbahasa Prancis, Clary."ujarnya dengan bahasa yang sama dan sekali lagi tanpa cela.

Aku menaikkan alis. Ini akan menjadi semakin menarik. "Ya, dan sekarang kau sudah tahu. Apalagi yang kau tunggu?"kataku lancar masih dengan bahasa yang sama. Mungkin aku akan menggunakan bahasa Prancis jika berbicara dengan Justin. Sekaligus mengasah kemampuan bahasaku.

Almost is Never EnoughTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang