Perlahan, Radit merasakan kepalanya sakit dan seperti berputar-putar. Ia meraba perban yang terlilit rapi di sana. Sakit sekali. Radit berusaha keras untuk membuka matanya yang terasa berat. Memicing sebentar karena silau. Samar-samar mulai terlihat ruangan bercat putih dengan tirai hijau di sebelah kasurnya. Aroma obat-obatan menyeruak masuk ke hidungnya. Radit melirik tangan kirinya yang ternyata sudah dipasangi selang infus.
Laki-laki itu meringis."Udah bangun, Dit?" seseorang melongokkan kepalanya ke dalam.
Lintang, begitu pikir Radit setelah melihat siapa gadis berwajah cemas di ambang pintu.
"Lo bikin gue panik tau gak?" Lintang berjalan mendekati Radit.
"Makasih udah bawa gua ke sini,"
"Tadi.. Nara kesini. Sama Nazry. Baru aja pulang,"
Nara kesini? Dia liat gua sakit?
"Oh.."
Lintang menghembuskan napas pelan, "Gue tau, lo sayang banget-"
"Cinta."
"Ya, lo cinta sama Nara. Gue harap dia sadar kalau lo butuh dia."Rasa sesak merayapi hati Lintang. Air matanya mulai menggedor-gedor ingin keluar.
"Dia marah sama gua."
"Oya? Tadi waktu dia ngeliat lo kayak gini dia khawatir banget. Dia sampai pingin tetep disini nunggu lo bangun. Tapi berhubung Nazry bersikeras nyuruh dia pulang, akhirnya dia pulang."
Radit melirik Lintang yang kini duduk di sebelahnya. Gadis itu- tunggu. Dia menangis?
"Lintang?" Sial. Suaranya terdengar parau.
"Jangan liat gue." Lintang berusaha menghapus air matanya yang keluar.
Melihat Lintang menangis, membuat Radit semakin terpukul. Ia ingin sekali memeluk gadis itu. Menenangkannya.
"I'm here if you need a hug." Ucap Radit tiba-tiba.
Lintang menoleh. Sedikit ragu apakah ia harus memeluk Radit atau tidak. Namun sebelum Lintang sempat berpikir lebih lama lagi, tangan Radit yang terbebas dari infus langsung menariknya ke dalam pelukan. Aroma tubuh Radit langsung tercium, membuat Lintang teringat seluruh kenangannya bersama laki-laki itu.
"Maaf." Ucap Radit.
Maaf juga gue udah bohongin lo, Dit.
Hanya sebentar. Setelah itu Radit melepas pelukan mereka.
Lintang tertawa kecil. "Akhirnya gue inget rasanya dipeluk lo. Btw, udah enakan?"
"Udah."
"Yakin?"
"Ya."
"Oke, sebentar. Gue panggil suster buat ngelepas infusnya."
Radit mengangguk. Teringat jika tangannya masih diinfus. Tak lama kemudian seorang perawat masuk diikuti oleh Lintang. Perawat itu menarik jarum infus dari tangan Radit secara perlahan. Kemudian menutup lukanya.
"Saran dokter, kamu gak boleh terlalu capek. Harus banyak istirahat." Kata perawat itu. Radit lagi-lagi mengangguk. Tersenyum. Perawat pun meninggalkan ruangan. Radit dan Lintang terdiam. Membiarkan keheningan menyelemuti mereka sesaat. Keduanya ingin mengatakan sesuatu. Namun masih ragu untuk menyatakannya.
"Lin,"
"Dit,"
Panggil keduanya berbarengan. Mereka saling tatap lalu tertawa.
"Ladies first," ucap Radit.
"No no.. Lo dulu."
Radit menarik napas lalu menghembuskannya perlahan. "Oke."
Hening sesaat.
"Gua setuju sama permintaan lu waktu itu,"
"Permintaan apa?"
"Kita bisa kayak dulu lagi? Ulang semuanya dari awal?"
Lintang terkejut, "Tapi.. Lo.. Cinta Nara."
"Lupain aja soal itu."
Lintang menatap Radit tak percaya. "Gue gamau disaat kita bareng, lo mikirin dia. Gue gamau jadi pelarian lo doang."
"I promise."
Radit merentangkan kedua tangannya. Lintang langsung menghambur ke pelukan laki-laki itu. Ia dapat merasakan detak jantung Radit yang menderu, sama dengan miliknya.
"Jangan tinggalin aku. Lagi." Pinta Radit sambil mengelus puncak kepala Lintang.
"Never."
Lintang merasa sangat bahagia hari ini. Bagaimana tidak? Akhirnya ia bisa kembali bersama seorang Radit Angkasa.
Walaupun sebenarnya, di hati kecilnya yang terdalam ia menyesal. Lintang menyesal telah berbohong kepada Radit untuk yang kesekian kalinya. Gadis itu tetap egois. Tidak mau memberi tahu yang sebenarnya pada Radit. Entah sampai kapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aderyn
Teen FictionTidak perlu sesuatu yang romantis, cukup mengobrol lewat jendela saja aku sudah senang. Tidak perlu restoran mewah nan eksotis, aku tetap bahagia pergi ke warteg asalkan bersama dirinya. Tidak perlu cincin berlian yang berkilau sebagai janji, dengan...