Air matanya menetes. Mengenai lipatan origami berwarna merah muda yang sekarang berada di genggamannya. Ditatapnya benda itu lekat-lekat.
Kau tahu? Kadang, disaat kita benar-benar merasakan kesedihan yang sangat, air mata tidak akan lagi menetes. Hanya hati kita yang berteriak. Berteriak pada dunia. Mengapa ini terjadi padaku? Berteriak meminta penjelasan. Kenapa kau meninggalkanku begitu saja? Berteriak tak rela. Seharusnya bukan aku yang merasakan ini!
Hanya itu teman, hanya itu yang dapat kita lakukan disaat kita menghadapi masa-masa sulit. Masa pemulihan perasaan. Kita tidak bisa menangis. Itu hanya membuang-buang air mata.
Tetaplah kau ingat, disetiap kesulitan yang menimpa kita, pasti ada hikmahnya. Kesulitan itulah yang membuat kita menjadi lebih kuat. Lebih kuat menghadapi berbagai macam tantangan yang sudah menunggu kita. Kuncinya hanya satu, kawan. Percaya.
"Kamu ngelanggar perjanjian, Nara."
Nara menoleh. Sosok tinggi Radit telah sempurna berdiri di sebelahnya. Laki-laki itu tersenyum. Menatapnya.
"Maaf," Nara buru-buru menghapus air mata. "Gak sengaja buka kotak ini."
"Gak papa. Nazry udah nunggu tuh. Dia pingin jalan-jalan sama kamu sebelum kamu berangkat ke London besok," kata Radit. Masih dengan senyuman yang sama.
Nara mengangguk. Segera menutup kotak yang sedari tadi ia pangku. Menutup segala kenangan di masa lalu. Kenangan yang seharusnya dilupakan. Bukan diingat.
Nara tersenyum menatap Radit, "Dah, Radit."
"Dah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aderyn
Teen FictionTidak perlu sesuatu yang romantis, cukup mengobrol lewat jendela saja aku sudah senang. Tidak perlu restoran mewah nan eksotis, aku tetap bahagia pergi ke warteg asalkan bersama dirinya. Tidak perlu cincin berlian yang berkilau sebagai janji, dengan...