Kartu keluarga katanya? Ha. Buat apa? Palingan cuma iseng, batin Nara kesal sambil melempar ponselnya ke atas kasur.
"Kenapa dia gak berusaha minta maaf?" Nara menatap boneka beruangnya lamat-lamat seakan sedang berbicara dengan benda itu. "Kenapa Radit tiba-tiba gini? Salah gue apa? Dia bahkan gak ngucapin selamat ulang tahun ke gue. Gue ini pacar dia atau bukan sih?"
Nara menghempaskan dirinya di atas kasur. Menatap kosong langit-langit kamar. Bayangan Radit berkelebatan di benaknya. Radit yang tersenyum, Radit yang tiba-tiba melempar kerikil ke jendelanya, Radit yang tiba-tiba muncul di gerbang sekolahnya, Radit yang selalu ada- tunggu. Radit tidak benar-benar selalu ada untuk Nara. Kalau dipikir-pikir, Nazry lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Nara dibandingkan Radit. Radit suka menghilang, lalu muncul lagi. Menghilang lagi. Muncul lagi dengan senyumannya yang membuat Nara semakin jatuh.
"Kenapa gue jadi nangis gini?" Nara segera menghapus air matanya yang menetes. Ia terduduk. "Kalo dipikir-pikir ngapain dia nyuruh gue liat kartu keluarga? Kalo cuma iseng, pasti gaakan segitunya kan?" Gadis itu kembali berbicara dengan bonekanya.
"Apa gue coba liat dulu?" Nara hendak berdiri, namun ia menggeleng. "Gak ah kurang kerjaan."
Seharian Nara hanya berkutat di kamarnya. Tidur-bangun-memikirkan ini itu-tidur lagi. Sampai jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam, Nara keluar kamar. Ingin mencari camilan. Ketika Nara baru beberapa langkah menuruni tangga, ia mendengar suara orang yang sedang mengobrol di ruang tamu. Karena penasaran, gadis itu segera pergi ke ruang tamu.
Nara terkesiap. Ramai sekali. Ada mamanya, Rafi, Rio, dan sepasang suami istri entah siapa, dan- itu.. Radit?
"Radit?" panggil Nara tiba-tiba.Semua orang sontak menoleh ke arahnya. Radit menatapnya sekilas, kemudian menunduk. Begitu juga Rafi dan Rio. Semua langsung menunduk. Nara bergerak-gerak salah tingkah, "Eh? Ada yang aneh?"
Kali ini wanita yang duduk disebelah seorang pria menatapnya. Nara meneguk ludah. Tatapan itu. Wanita itu memberinya tatapan itu. Astaga. Kali ini wanita itu tersenyum lembut padanya. Nara menjadi sesak napas.
"Halo Nara," sapa wanita itu.
Nara melirik mamanya, yang kini sedang memainkan selembar tisu.
"Ha- Halo," jawab Nara patah-patah. "Kalau boleh tahu, anda siapa ya?""Kita bicara baik-baik ya, Nara?" tanya wanita itu. Masih dengan tatapan itu.
"Bicara apa?"
"Kamu duduk dulu disini. Kita bicara baik-baik."
Nara masih ingin bertanya ketika ia menyadari sesuatu. Wanita itu memegang selembar kertas. Tertulis besar-besar di atasnya :
KARTU KELUARGA
Mata Nara membesar. Pikiran-pikiran tidak enak mulai bermunculan di benaknya. Kali ini ia melirik Radit yang semakin menunduk. Ada apa? Nara kembali meneguk ludah.
Gak papa. Gak akan ada apa-apa. Optimis, Nar.
"Kenapa?" tanya Nara ragu-ragu. Gadis itu masih diam di tempatnya. Urung untuk duduk di sofa ruang tamu.Vera angkat bicara, "Duduk Nara."
Kenapa?
"Kenapa?" tanya Nara lagi. Jantungnya berdegup kencang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aderyn
Teen FictionTidak perlu sesuatu yang romantis, cukup mengobrol lewat jendela saja aku sudah senang. Tidak perlu restoran mewah nan eksotis, aku tetap bahagia pergi ke warteg asalkan bersama dirinya. Tidak perlu cincin berlian yang berkilau sebagai janji, dengan...