Bel pulang sekolah sudah dibunyikan sejak tadi. Seluruh murid berada di luar kelas, hanya beberapa yang tetap di dalam untuk mengobrol. Nara sedang merapikan lokernya. Buku-buku pelajaran berserakkan di lantai. Ponselnya terus berdering, namun gadis itu hanya memberi lirikan tak suka setelah ia membaca nama sang penelpon yang tertera di layar.
"Gak diangkat teleponnya?"
Nara menoleh. Menatap sosok Nazry yang tiba-tiba sudah duduk di sampingnya.
"Males ah."
Nazry manggut-manggut, "Aku bantuin ya?"
"Boleh!" Nara menambahkan, "Ry, omong-omong kamu bisa main piano gak?"
"Kenapa?"
"Aku pingin nari."
"Kamu.. Bisa nari?" Nazry menatap Nara tidak percaya. Nara mengangguk.
"Wah oke! Habis ini ke ruang musik ya?" lagi-lagi Nara mengangguk senang. Senyumnya mengembang. Akhirnya ia bisa menari lagi.
Mereka cepat-cepat merapikan buku yang berserakan dan memasukkannya ke dalam loker. Kemudian berjalan beriringan menuju ruang musik. Nara melepas sepatu ketsnya, menggantinya dengan sepatu khusus untuk menari yang sengaja ia bawa hari ini.
"Mau lagu apa?" tanya Nazry sambil menempatkan jemarinya di atas tuts-tuts piano. Ia mengecek suaranya sebentar.
"Canon In D!"
Nazry mengangguk dan mulai memainkan lagunya. Begitu juga dengan Nara yang sedang menarik nafas panjang bersiap untuk menari. Gadis itu memejamkan matanya. Perlahan, Nara berjinjit. Mengangkat salah satu kakinya dan mulai berputar. Kemudian melompat dengan anggun. Nara mulai menari. Gerakan tubuhnya sangat gemulai. Ia seperti sedang menceritakan sesuatu secara tidak langsung di dalam tariannya.
Nazry memandang Nara dengan takjub. Gadis itu.. Sempurna. Baru pertama kalinya Nazry melihat seseorang menari kotemporer dengan mata kepalanya sendiri.
"Nazry?" suara Nara membangunkan lamunannya. Ternyata tanpa disadari, jemarinya berhenti memainkan lagu saat sedang memperhatikan Nara.
"Kamu kenapa?"
Nazry mengerjap, "Eh. Aku berhenti ya? Maaf maaf.. Kamu keren banget narinya,"
Nara tersenyum lalu duduk di sebelah Nazry. Ia merebahkan kepalanya di sana. Di pundak Nazry.
"Begini dulu sebentar boleh?"
"Kamu bebas minjem pundak aku kapan aja."
Mereka terdiam. Menikmati kenyamanan yang ada. Senyum keduanya terukir. Mereka merasakan jantungnya mulai berdetak melebihi batas normal.
"I love you."
"I love me more."
"IH NAZRY NYEBELIIINN!!"
"HAHAHAHAHA!"
- - - - - • - - - - -
Lintang meneguk minumannya. Ditatapnya Radit yang sedari tadi memperhatikan dirinya.
"Kenapa?"
Radit tersenyum kecil, "Muka kamu gak berubah. Dari dulu sama aja. Lucu kayak kelapa,"
"Kok kelapa siiihh?" Lintang tidak setuju.
"Ya emang kayak kelapa. Nah! Kalo sekarang kayak tomat! Hahahahaa,"
Radit mendapatkan pukulan ringan di pundaknya, "Nyebelin!"
Mereka tertawa tanpa menyadari tatapan tak suka dari pengunjung warteg yang lain.
"Sst, kita berisik tau!" Radit berbisik pada Lintang.
Gadis itu cekikikan, "Biarin ah yang penting happy!"
"Eh ada yang telepon kamu tuh." Lintang menambahkan.
Radit menatap ponselnya. Membaca nama sang penelpon dengan enggan. "Gak usah diangkat."
"Loh kenapa? Kasian tau."
"Gakpapa, biarin aja."
"Yaudah aku yang angkat ya? Aku bilang kamu lagi mandi."
"Jangan. Bilang aja aku lagi makan sama kamu di warteg. Hehee.."
Senyum jahil Lintang terbentuk. Gadis itu mengangkat teleponnya dan langsung berkata, "Halo? Sori Raditnya lagi makan sama Lintang yang kayak kelapa di warteg. Nanti lagi yaaaa! Dadaaahh!"
Kemudian keduanya saling tatap lalu tergelak.
"Hahahaa, keren keren..""Iyadoong! Lintang!"
Radit mengambil kedua tangan Lintang dan meletakkannya di kedua pipinya. Tangan Lintang langsung terasa panas.
"Hei kelapa!" sapa Radit.
Lintang mengangkat sebelah alisnya sambil terkekeh pelan.
"Ini aku. Pangeran kamu. Pangeran kelapa."
"Gak lucu Radiiit!"
"Yaudah ah." Radit ngambek.
"Yaudah." Kini keduanya saling diam.
Tak sampai satu menit, keduanya tertawa kembali. Sampai-sampai pemilik warteg menatap mereka dengan heran.
"Kalian ini, masih muda tapi udah edan kaya gini. Haduu.."
"Gakpapa buu, yang penting happy!" seru Lintang.
"Yang edan dia doang bu, saya mah enggak." Radit membela dirinya.
"KAMU JUGA!" pukulan yang lumayan keras mendarat di pundak Radit.
Radit meringis sambil mengusap usap pundaknya, "Kamu kalo mukul sakit juga ya, Lin."
"Hahahaa, biarin!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aderyn
Teen FictionTidak perlu sesuatu yang romantis, cukup mengobrol lewat jendela saja aku sudah senang. Tidak perlu restoran mewah nan eksotis, aku tetap bahagia pergi ke warteg asalkan bersama dirinya. Tidak perlu cincin berlian yang berkilau sebagai janji, dengan...