Warning : Cerita saya terdapat banyak kekurangan, mainstream alias pasaran, ada juga yang bilang kayak sinetron, banyak typo. So, if you don't like, don't read. No flame, no bullying, no blame, give a good respect for me
This chapter contained adult scene, if you don't like please hold back!!!
*** Happy Reading ***
Bodoh! Bodoh! Bodoh! Zea tak kunjung berhenti untuk meruntuki kebodohan mulutnya yang seenaknya saja berdeklar tanpa meminta izin dulu pada otaknya. Aaaarghhht... ia mengerang kesal, merasa tak punya wajah untuk berhadapan dengan Lerry. Tapi syukurlah karena pria itu rupanya cukup bodoh untuk memahami apa yang Zea katakan, mungkin dia menganggap ucapannya barusan adalah lelucon belaka, terbukti karena pria itu sama sekali tak menyusulnya kan?
Dan sangat bagus sekali karena besok Lerry berangkat ke London, jadi Zea tak perlu mencari cara untuk menghindari lelaki menyebalkan itu. tapi... jauh di dalam dirinya, Zea menginginkan si bodoh itu tetap tinggal di sini bersamanya, hanya bersamanya. Bagaimanapun dia sudah seperti racun dalam kehidupan Zea, tinggal berbulan-bulan bersama membuat sisi lain Zea merasa teramat nyaman berada di sekitarnya, melihat senyum jahilnya, mendengar gombalan serta rajukannya, berdebat dengannya, menerima sentuhan-sentuhan kecilnya dan semua itu kini membuat Zea merasa gila membayangkan sosok itu akan pergi jauh dari jangkauannya dalam kurun waktu yang tidak bisa diprediksikan kapan dia akan kembali. Bahkan saat nanti dia kembali ke negara ini pun Zea tak tau apa Lerry akan kembali padanya atau kembali pada sosok masa lalunya.
Tiiiin... Zea melonjak kaget, tubuhnya limbung saat sebuah mobil dari arah kirinya melaju cukup kencang. Sial, apa yang sedang dia pikirkan sampai tak melihat kanan kirinya, tak melihat dimana kini dia sedang berjalan.
"Kau tidak boleh mati secepat itu baby Zee, bagaimanapun kau masih berhutang padaku." dan bisikan di telinga kanannya membuat Zea jauh lebih terlonjak lagi, bahkan melebihi rasa kaget yang diterimanya karena suara klakson mobil tak tau diri beberapa menit lalu. Baginya, suara Lerry yang menggema ditelinganya saat ini jauh lebih mengerikan dari pada sirine ambulan yang mungkin akan membawanya dalam ruang kematian.
"Le-Lerry?" gagapnya saat berbalik dan mendapati tubuh suaminya yang menjulang tinggi dengan tatapan paling dingin dan kaku. Ini buruk, Zea tak pernah melihat Lerry versi ini sebelumnya.
"Ada apa dengan wajahmu? Aku bukan malaikat pencabut nyawa, baby Zee." Suaranya sedingin es dari dua kutub di bumi ini. "Kita pulang!"
Zea menggeleng, ia memundurkan langkahnya. "Bukankah kau sedang buru-buru pergi? Su-sudah kubilang ak-aku bisa pul-"
"Tidak setelah mendengar sesuatu dari mulut sialanmu," ujarnya membuat iris indah milik Zea membelalak sempurna. Tangan besar milik Lerry lekas mencekal lengan kecil Zea, menahan tubuhnya yang hendak kabur lagi dari jangkauannya, tak semudah itu baby Zee. Tangan lainnya yang bebas ia gunakan untuk merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel miliknya dan mencari kontak Garton. "Garton, kau bisa membantuku? Hn, pergilah ke rumah sakit dan berikan pinjaman pada Prim untuk biaya operasinya. Ya, laporannya kirim padaku Via email."
Zea menatap suaminya dengan dahi berkerut. Prim? Uang pinjaman? Operasi? "Ap-apa yang terjadi?"
"James memiliki tumor otak dan harus menjalani operasi, Prim membutuhkan dana yang banyak untuk membayar biaya rumah sakit si bastard itu, dan pihak Bank tak bisa memberikan dana sebanyak itu tanpa jaminan yang bagus."
"Dan kau mau memberikannya?"
"Bukankah menolong sesama manusia itu suatu perbuatan yang mulia?"
KAMU SEDANG MEMBACA
T'amo
RomancePeraturan gila dari pemerintah yang mewajibkan WNA untuk menikah sebelum akhir desember membuat Lerry Estanbelt kalang kabut. Bukan karena dia tak laku, tapi karena eksistensi kaum perempuan di Thailand tidak sebanyak di Indonesia. Jika salah pilih...