(LERRY)
Aku pergi pagi-pagi sekali, merelakan tubuh hangat Zea dalam dekapanku. Untuk pertama kalinya aku memiliki rasa menggebu-gebu untuk menyeret tubuh seseorang lalu melemparnya ke dalam penjara paling gelap dan berbau busuk, namun setelah kupikirkan lagi sepertinya semua itu tidaklah cukup membuatku merasa puas, aku jadi ingin mengibirinya, agar dia tidak memiliki barang sialan yang bernama penis lagi! Sungguh, aku benar-benar ingin membawa Dean ke rumah sakit dan meminta dokter untuk mengibirinya.
Semalam aku tidak bisa tidur, mataku terpejam namun sang mimpi sama sekali tak berani mengecupku, mungkin karena ia tahu kalau aku sedang murka. Kemudian saat jarum jam menunjukkan angka enam, saat itu kesabaranku sudah tidak bisa kutahan lagi, aku lekas bergegas pergi ke kamar mandi, membersihkan diri lalu pergi menemui pengacara handal untuk melaksanakan apa yang sudah kurancang di otakku semalaman ini.
Ya, aku tidak akan bisa tenang sebelum melihat bajingan Dean mendekam dipenjara, memastikan dia tidak akan bisa lagi menyentuh koalaku.
Perasaan marah, kecewa, bersalah dan lelah membuatku hilang kendali, otakku pun tak bisa berjalan dengan normal. Setelah pulang dari kantor kepolisian, aku lekas pergi ke kantor karena kupikir ada banyak sekali pekerjaan yang menunggu untuk kuselesaikan setelah kutelantarkan hampir 3 minggu ini, namun nyatanya aku seperti orang gila.
Dokumen berserakan dimana-mana, tak ada satupun yang dapat kumengerti dari tulisan-tulisan sialan itu. Lantas Molned dan Garton menjadi sasaran amukanku, telinga mereka sepertinya memanjang karena terus aku omeli hanya karena kesalahan -yang mungkin dalam versi Lerry berotak waras itu adalah- kesalahan kecil. Namun sayang sekali, karena saat itu aku sedang tidak waras, nyamuk saja aku omeli karena sudah berani menghisap kulitku sedangkan Zea saja tidak pernah melakukannya. Sial, semua omong kosong ini semakin tidak masuk akal.
Aku hanya butuh tidur untuk mengembalikan ceceran kewarasanku, maka dari itu aku meminta Garton dan Molned untuk tidak menggangguku selama aku tidur di ruanganku, tapi sialnya belum ada 10 menit aku memejamkan mata, seseorang menerobos masuk, membuat sedikit kegaduhan, dan saat orang itu berinisiatif mengambil dokumen yang sedang kupeluk, saat itu juga aku membuka mata (baca: melotot) dan ketahuilah kalau sumpah serapah serta makian tajam sudah berada di ujung lidah, hendak kumuntahkan pada siapapun yang mengusikku.
Tapi yang kulihat bukanlah Molned ataupun Garton, dia istriku. Seketika umpatan serta sumpah serapah yang tadi hendak kumuntahkan lekas kutelan kembali, menggunting lidahku sendiri hingga tak bisa berkata apapun sampai beberapa saat.
"Maaf, aku hanya ingin mengambil dokumen itu agar tidurmu lebih nyaman tapi malah membuatmu terbangun."
Oh sial, ini membuatku frustasi, Zea terlihat kaget melihatku yang tak bersahabat tadi, terlebih lagi dengan mata melotot yang kuyakin sangat tidak handsome sekali. "Apa yang sedang kau lakukan di bawah?"
"Aku-"
"Bangun, kau bisa masuk angin."
Lantas aku segera bangkin dan memberinya ruang, setelah dia duduk di sampingku, aku langsung menempatkan kepalaku di atas pahanya. Kurasakan dia berjengit kaget, tapi apa peduliku. "Aku lelah." gumamku seraya mencari tempat nyaman untuk mengistirahatkan kepalaku. "Kau sudah makan?"
"Ya."
Aku tak yakin dengan jawabannya.
"Maaf, aku bangun pagi-pagi sekali dan tak menulis memo. Aku harus menemui pengacaraku untuk menjebloskan Dean ke sel tahanan yang paling busuk dan gelap."
Zea tak merespon, kurasakan tubuhnya menegang, tubuh kami sama-sama tegang kurasa. Mataku sedikit mengintip, aku tak mengerti dengan ekspresi itu, apa dia senang mendengar berita ini atau justru kecewa karena aku melakukan sesuatu tanpa meminta izinnya lebih dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
T'amo
Любовные романыPeraturan gila dari pemerintah yang mewajibkan WNA untuk menikah sebelum akhir desember membuat Lerry Estanbelt kalang kabut. Bukan karena dia tak laku, tapi karena eksistensi kaum perempuan di Thailand tidak sebanyak di Indonesia. Jika salah pilih...