London

25.3K 2K 86
                                    

Lerry P.O.V

Saat pertama kali kakiku menyentuh tanah kelahirannya, jiwaku terasa kosong. Aku tak tau apa yang akan aku lakukan di sini. Bahkan selama 7 hari ini aku hanya berdiam diri di penthousenya tanpa melakukan apapun, tidak ada niatan untuk menemuinya yang sedang terbaring di rumah sakit.

Aku masih belum siap, atau bahkan tak menginginkan pertemuan ini. Rasanya pasti akan awkward ketika berada dalam satu ruangan dengan seseorang yang bahkan dalam seumur hidupnya tidak pernah mengharapkanmu ada di dunia ini. Lalu untuk apa semua omong kosong ini? Keberadaanku di sini setelah hampir 26 tahun tak diinginkan?

Selama aku di London, yang aku lakukan hanya berkunjung ke kamar rawat Keylo, dirumah sakit yang sama tapi tak pernah ada niatan sekalipun untuk datang ke kamar rawatnya. Ya, ini adalah sebuah bentuk rasa marahku padanya. Dia pikir dengan menyodorkan berkas waris padaku lalu aku akan dengan lapang dada datang dan duduk di kursi yang sama seraya membawa topik bahasan tentang masa kecilku, tentang dirinya. Blah... mimpi saja! Sampai dia menghembuskan nafas terakhirnya pun aku tak bisa berjanji akan datang untuk menabur bunga di atas pemakamannya.

"Kenapa kau tunjukkan wajah menyebalkanmu di depanku? Membuat malamku tambah buruk saja!"

Great, mulut adik lelaki-ku masih sama manisnya seperti dulu. Dia berjalan ke arahku dengan ringisan parah di wajahnya efek kaki yang masih belum pulih benar. "Sopanlah sedikit pada yang lebih tua!"

Keylo memutar bola matanya, "Seharusnya kau datang ke kamar 380, bukan ke kamarku!"

"Diamlah!"

"Kalau kegiatanmu di sini hanya makan dan tidur, lebih baik kau pulang ke Thai dan urus perusahaan."

Pulang ke Thai? Ck, aku takkan pulang sebelum gadis itu yang memintaku dengan sendirinya untuk pulang.

"Tidak seharusnya kau melakukan hal kekanakan seperti ini. Sekuat apapun kau mengelak, darah tetaplah darah, tidak bisa digatikan dengan air."

Lihat, sekarang dia mulai pandai berceramah semenjak kepalanya terkena benturan keras pembatas jalan saat malam naas itu. "Terimakasih sudah memberikan petuah terbaik, nong krab. Tapi lebih baik lagi jika kau bercermin pada dirimu sendiri. Kau masih belum berbaikan dengan Ayah kan?"

Hah! Kena kau!

"Kapan kau pulang ke Thai? Kakimu sudah hampir pulih. Kau tidak berniat meninggalkan gadis itu untuk laki-laki lain kan?"

Dasar remaja penuh hormon! Wajah kecutnya kembali berbinar, "Well, aku berniat melanjutkan study-ku di sini saat semester baru dimulai."

"Kau belum ujian, mana bisa melanjutkan study!"

"Aku mendapat toleransi dari sekolah, nanti akan mengikuti ujian semester via online. Setelah itu Mami akan mengurus surat-surat pindahku."

Toleransi? Mana ada kalau tidak dibarengi dengan beberapa angka di atas cek yang disodorkan oleh Ayah. Dasar bodoh!

"Dan... mengenai gadis itu, kau bisa menjaganya untukku? Kau bisa mengawasi apa yang dilakukannya di sana untukku? Kau bisa kan?"

"Tidak-"

"Sebagai gantinya aku akan mulai memanggilu kakak. Bagaimana?"

Oh oke, aku menyerah. Dia sangat tahu kelemahanku. "Aku akan pulang ke penthouse, kau tidurlah."

Keylo tersenyum lebar saat tanganku mengacak rambutnya sebelum bangkit dari sofa sialan di kamar inapnya. "P' sebelum tidur telponlah kakak ipar, dia pasti sangat merindukan pelukanmu. Apalagi kudengar dari Bunda, di sana sedang musim hujan, kakak ipar pasti merasa kedinginan hahaha..."

T'amoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang