(4) Unknown

489 30 0
                                    

Devan menumpukan kepalanya di atas kedua tangannya yang telah ia silangkan di rumput. Matanya menatap ke arah awan yang bergerak lembut namun mendung pertanda akan turun hujan. Ia mencoba tersenyum, berharap gundah di hatinya akan menguap.

"Di sini lo ternyata.", Jose juga melakukan hal yang sama seperti Devan, tiduran di atas rumput.

"Kenapa?", tanya Devan

"Itu harusnya pertanyaan gue, sih, kenapa?"

"Ha? Kan yang nyariin gue elo, gue dong yang nanya."

"Anak Aravea enggak terima kekalahan mereka kemarin, mereka ngajak tanding lagi", Jose menyampaikan informasi yang menjadi tujuannya mencari Devan sejak tadi. Belum Devan merespon, ia lalu membelokkan pembicaraan.

"Bokap lo abis apain lo lagi?" tanya Jose. Devan hening. Ya, Jose memang tahu tentang Devan dan Papanya. Tentu saja bukan dari Devan langsung, awalnya dari Ryan.

Sepersekian detik berlalu. Jose masih menatap sahabatnya itu,meminta tanggapan. Devan hanya mengangguk kecil. Jose menepuk-nepuk punggung Devan sebelum akhirnya beranjak dari duduknya.

Devan tersenyum, lantas menjawab, "Biasalah. Ini kan hari minggu. Papa gak ke kantor ataupun keluar kota hari ini. Dan punya banyak waktu untuk perhatiin semua kesalahan gue"

Jose melempar batu kecil ke tengah Danau, sebelum menanggapi dengan kesal. "Elo bisa lapor ke komnas anak Dev, ini kdrt namanya!" rutuk Jose sewot. Ini bukan pertama kalinya ia melihat sahabatnya seperti ini. Bahkan pernah ia melihat seorang Devano Ray menangis hanya untuk papanya. Seorang Devan menangis? Ya, mungkin hanya Om Theo yang bisa melakukannya. Membuat putra kandungnya itu seperti sekarang ini. Dan Jose paling tidak bisa mentolerir yang namanya kekerasan.

Kalau sudah begini, Jose jadi ingat kata-kata Devan sewaktu ayahnya baru meninggal dulu. "

"Jangan sedih dong, Jo! Lo masih punya Mama lo, kak Vaby, dan gue. Lo juga boleh nganggep papa gue sebagai papa lo!".

Menganggap Papa Devan sebagai papanya? Papa Devan saja tidak menganggap Devan sebagai anaknya!

"Laporin? anak durhaka macem apa gue, Jo, kalau sampai ngelaporin bokap gue sendiri", sahutnya santai.

"Dev, maaf ya, tapi bokap macem apa yang main tangan sama anaknya sendiri?" balas Jose tak mau kalah, meski sudah sering mereka berargumen tentang masalah ini.

"Papa gak bakal kasar kalo bukan gue yang bikin masalah. Emang gue yang salah Jo" Tanpa beban dan seolah memang tak ada masalah, Devan lagi-lagi tersenyum dan tentu saja akan mementahkan segala cercaan Jose tentang papanya.

Terkadang Jose bingung, kalau Devan tahu bahwa kelakuannya dan pemberontakannya itu salah, kenapa Devan tidak jadi anak baik-baik saja? Seperti dulu, saat mereka masih duduk di bangku sekolah dasar.

~o0o~

Petir dan angin kencang menyerang seolah tengah ada badai sekarang. Namun kemarahan alam itu tidak lebih dahsyat dari perkelahian anak-anak SMA yang seperti tidak takut apapun. Bahkan sekarang gerimis mulai turun perlahan, butir-butir kecilnya terlihat sudah siap membawa pasukan yang lebih deras.

Sudah hampir satu jam, kubu Arvendhas dan Aravea saling adu jotos satu sama lain. Di sebuah pasar modern gagal yang tidak terpakai, tapi disanalah saksi bisu keributan mereka hampir setiap waktu.

Beberapa anak sudah mulai kepayahan satu sama lain. Hanya saja, ketua mereka secara tidak resmi, Devan dan Romi yang paling asik. Asik larut dalam pertarungan sengit mereka. Tidak peduli meski seragam mereka telah kotor oleh tanah atau malah mungkin darah.

Love Is Never Wrong [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang