(22) Esok Kan Bahagia

595 21 1
                                    

Theo terduduk memeluk buku sketsa itu. Tubuh Theo gemeteran. Kepalanya merunduk. Beberapa detik kemudian, pria ini tak bisa menahan bobolnya tangis dari matanya. Seluruh badanya berguncang karena ledakan emosi.

'Lewat video ini, aku juga mau nanya, alasan kenapa papa benci sama aku? Aku pernah tanya ke nenek kenapa papa suka marah-marah, beliau bilang,marah-marah papa mungkin karena capek, terlalu banyak kerjaan dan fikiran. Waktu aku tanya mama, mama cuma bilang, gak ada orang tua yang bisa bener-bener benci sama anaknya. Tapi makin hari, yang aku liat cuma kenyataan bahwa papa emang benci sama aku. Dan itu kadang bikin aku mikir, apa aku anak papa?'

Kalimat terakhir itu, membawa ingatan Theo kembali ke pembicaraannya dengan dokter Fandy.

'Kau meragukan anakmu, Teo? Apa yang kau fikirkan, dia anakmu! Di dirinya mengalir darahmu. Dia yang mendonorkan ginjalnya untukmu. Walau saya sudah mngingatkan bahwa operasi itu bisa mengancam nyawanya atau bahkan terkena penyakit ini. Dia sekarang sakit, dan itu karena mu!"

Theo segera berdiri dan memutuskan kembali ke Rumah Sakit saat ini juga. Sepanjang jalan, bayangan Devan terus berkelabat di benaknya. Seperti potongan-potongan film, semua memori berputar dalam ingatan Theo.

"Pa, mau main bola gak?" suara ceria Devan yang masih berusia lima tahun menggema di telinganya. Anak itu asyik bermain dengan bola sepaknya, saat Theo melewatinya.

"Devan takut gelap, temenin Devan yah, Pa..?" Devan yang saat itu sudah berusia delapan tahun mencengkram lengan Teo erat. Takut jika ia ditinggalkan daam kegelapan.

"Kenapa papa salahin Devan? Aku bukan pembunuh! Aku bukan pembunuh!". Empat tahun lalu, untuk pertama kalinya Devan berteriak padanya. Melepas rasa hormatnya.

"Papa? saya udah lupa rasanya punya papa! setahu saya, seorang papa tidak akan meninggalkan anaknya begitu saja". Dan jarak mereka benar-benar jauh. Seolah Devan dan Theo bukan sepasang anak dan Ayah.

"Tamparan anda sudah tidak berfungsi lagi untuk saya !"

"Aku bakal pergi, makasih untuk enam belas tahun ini"

Semua permohonannya, kata-kata polosnya yang hampir tak ingin Theo dengar, berubah menjadi kata-kata keras kepala yang hanya dilontarkan anak pembangkang. Tapi Theo harus sadar, semua itu karenanya. Ia yang selama ini bertindak refresif dalam mendidik anak laki-lakinya itu. Membuat Devan tumbuh menjadi sosok yang keras sepertinya. Sepertinya! Kepintarannya, bakat menggambarnya, basket, mereka memiliki banyak kesamaan. Lalu Kenapa selama ini Theo tidak pernah melihat itu? Kenapa baru sekarang?

"Papa?", Ryan cukup heran melihat pintu ruangan itu terbuka dan yang nampak adalah papanya. Lagi-lagi dengan tampang kacau. Tak beda jauh dengan kondisi saat beliau baru keluar dari ruangan dokter Fandy tadi.

"Ada apa, Pa?". Menghiraukan Ryan,  Theo berjalan dengan langkah cepat mendekati Devan.

"Ray... Ray... bangun! Papa mohon jangan bikin papa menyesal seumur hidup papa. Tolong kamu jangan hukum papa kayak gini" . Ryan mendekati papanya yang kini menangis sambil menggenggam tangan Devan erat.

Apa penyesalan itu selalu ada di belakang? Kenapa saat Devan sudah seperti ini, papa dan dirinya sendiri baru menyadari betapa pentingnya orang yang terbaring di depan mereka saat ini.

"Pa... tenang dulu. Jangan pikir yang enggak-enggak, Ray pasti bangun kok", ujar Ryan berusaha menghibur-lebih kepada dirinya sendiri.

"Papa udah nyia-nyiain dia, Yan. Papa udah salah selama ini", pegangan Ryan pada pundak papanya semakin erat. Setetes air matanya juga meluncur kini.

Love Is Never Wrong [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang