(8) Lambang Kesetiaan

362 14 0
                                    

"Ya ampun itu rak kenapa berantakan amat?", tanya Ryan lagi, sambil menudingkan telunjuknya ke arah barang-barang yang dijatuhkan oleh Arhen tadi. Untung tidak ada alat dari kaca di sana.

"Yan..ehm..ini, aku lagi mau ngambil jangka, dan enggak tahu gimana, aku malah jatuhin semuanya, dan terus Devan nolongin aku", jelas Arhen sambil meremas-remas tangannya sendiri, berusaha menghilangkan rasa gugupnya.

"Lha, lo ngapain disini, Van?"

"Hukuman, Yan. Sorry, yang lo lihat tadi enggak kaya yang lo pikir, gue cuma nolongin Arhen dan.."

"Iya-iya gue tahu, thanks ya Van, udah nolongin cewek gue..hehe.. Gue juga denger kalo lo tadi nolongin Arhen waktu olahraga. Emang gue lebih tenang kalo Arhen sama lo", Ryan nepuk-nepuk bahu Devan. Devan hanya berusaha tersenyum ke arah Ryan.

"Kamu sendiri ngapain, Yan ?" tanya Arhen.

"Tadi aku abis dari ruang guru, terus denger suara ribut dari sini, ya udah aku masuk aja. Eh Van, gue bantuin ya beresinnya, itung-itung kan lo udah bantuin cewek gue"

"Arhen juga sahabat gue kali Yan, bakal gue tolongin juga kalopun dia bukan cewek lo", Devan mengatakan itu sambil melihat ke arah Arhen.

"Udahlah pokoknya gue mau bantuin lo"

"Yaudah aku balik ke kelas yah, pasti dari tadi Pak Rino nungguin jangka sorongnya yang enggak dateng-dateng", pamit Arhen sambil mengambil film yang ia inginkan.

Ryan mengangguk sementara Arhen mulai berjalan. "Eh, kaki kamu kok pincang gitu? masih sakit yah? Aku anterin ke kelas deh"

"Gak usah Yan. Aku gak papa kok, lagian kan kamu udah janji tadi mau bantuin Devan"

"Eh, gue gak papa kok. Lo temenin Arhen aja, Yan. Ini biar gue yang beresin.", sela Devan. Ryan jadi bingung :3

"Udah deh. Kamu bantuin Devan aja Yan. Berantakan banget tuh. Ohya, dan sorry Van gue gak bisa bantu. Bye!", dengan langkah cepat, Arhen keluar dari ruangan meninggalkan Ryan dan Devan di ruangan itu.

"Lo enggak curiga sama gue, Yan ?"

"Curiga buat apa ?"

"Gue sama Arhen..", ucap Devan pelan.

"Haha, enggaklah. Gue jelas-jelas tahu kalo lo berdua sahabatan. Btw, dia udah manggil lo Devan tuh."

"Hehe iya, nurut juga akhirnya. Tapi gimana kalo gue ngerebut Arhen dari lo ?", Ryan berhenti menata film-film itu, Devan juga berhenti.

"Eh itu cuma misalnya Yan, gue cuma iseng nanya doang", jelas Devan kelabakan, dia kebawa suasana nanyain pertanyaan konyol itu.

"Gue rasa lo enggak cukup tega ah Van, buat ngerebut Arhen dari gue...hehe..iya enggak ?", tanya Ryan balik.

"I..iyalah. Enggak akan gue ngerebut Arhen dari lo Yan, tenang aja"

"Iya gue tahu kok", ujar Ryan. Lalu mereka berdua melanjutkan kembali merapikan film-film tersebut.

~o0o~

Tangannya memetik senar gitarnya tanpa nada, meski melodi yang mengalun tetap saja indah untuk di dengar. Ryan menatap bintang-bintang dari beranda kamarnya. Sesekali ia mengubah posisi duduknya, tapi matanya terus menatap bintang dan tangannya terus memetik senar gitarnya.

Biasanya kalo dia sudah seperti ini, ia terbiasa mencurahkan perasaannya pada Arhen ataupun Devan. Hanya saja malam ini, Arhen bilang ia harus belajar karena besok ada tes dan Devan entah telah menghilang kemana sejak pulang sekolah tadi.

Diam-diam, tanpa siapapun pernah mengetahuinya, Ryan kadang sering iri, akan diri Devan. Yang dia anggap bebas menentukan apapun pilihannya, bebas melakukan apa saja tanpa memikirkan perasaan orang lain, dan bebas untuk mengatur hidupnya sendiri. Berbeda dengannya, yang selalu terlanjur dituntut untuk selalu jadi nomer satu tanpa cela sedikitpun, yang selalu harus berlaku sempurna, meski kadang hal itu tidak sesuai dengan hati nuraninya.

Love Is Never Wrong [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang