(21) I'm Sorry I Can't Be Perfect

504 23 0
                                    

Baik Ryan ataupun Jessi tak ada yang bisa berkonsentrasi mengikuti jam pelajaran berikutnya. Di kelasnya, Ryan terus memandangi jarum jam yang sepertinya semakin diperhatikan semakin lambat saja pergerakannya. Sementara di Kelas XI IPA 4, Jessi terus gelisah memandangi bangku di sebelahnya. Hari ini Arhen tidak masuk, begitupun kemarin dan hari sebelumnya, Nasya bilang ini sudah hari ketiga semenjak Arhen tidak masuk. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa apa saja yang tidak ia ketahui?

"Yant, sorry yah. Rapat hari ini dibatalin aja. Gue ada urusan", Bryant yang sejak tadi sibuk mencatat langsung menoleh heran ke arah Ryan yang kini sudah siap dengan tas yang menggantung di punggungnya.

"Hah? Gila lo! Pensi tinggal tiga hari lagi, mau di makan Pak Andi lo?"

"Duh Yant, kan masih bisa besok. Okeh?"

"Emang lo mau kemana, sih?"

"Ketemu Devan..", ucap Ryan sambil melangkah keluar. Bryant hanya menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal dan kembali melanjutkan catatannya. Yasudahlah, kalo batal. Malah bagus, berarti hari ini Bryant bisa bobo siang ._.

~o0o~

Tidak ada air mata yang terurai dari kedua mata bening Arhen, meski badannya bergetar dan raut khawatir yang terasa amat nyata di wajahnya, kedua tangannya menggenggam erat tangan Devan. Kak Vaby--kaka Jose--duduk di sampingnya, mengelus-elus pundak gadis yang berusia beberapa tahun di bawahnya itu.

Tanpa bergerak sedikitpun, Arhen tetap menunggu Devan yang masih ada dalam pengaruh obat bius pengurang rasa sakitnya. Arhen mengingat semuanya, hubungannya dengan Devan yang di awali dengan persahabatan yang indah, waktu-waktu bahagia yang telah ia lewati berdua bersama Devan, semua canda, tawa, sukacita yang mereka lalui bersama. Haruskah dibayar dengan akhir yang memilukan seperti ini ?
Bertahun-tahun mereka bersama, selama itu juga, rasa sayang dan cinta itu terpupuk dan terus bertambah seiring waktu. Sama sekali bukan hal ini yang mereka bayangkan menanti di hadapan mereka seperti saat ini.

Arhen mengelus-elus pipi Devan dengan ujung-ujung jempolnya, tanpa memperdulikan selang-selang yang menempel di tubuh cowok itu.
Meski tidak ingin, Arhen tahu bahwa ia harus realistis. Ia telah di berikan berbagai kemungkinan tentang kondisi Devan yang bahkan dalam hitungan jam terus memburuk. Dan saat ini, rasanya Arhen tidak tahu mana yang lebih baik. Tidak pernah mengenal Devan sama sekali atau tidak pernah memulai kisah ini bersama Devan sejak awal.

“Argh..” rintih Devan pelan. Arhen langsung berdiri untuk memencet bel di atas kepala Devan.

“Rhen" tahan Devan.

“Apa ?", Arhen menatap dua bola mata bening yang tampak sangat lemah itu.

“Jangan pergi, temenin aku..” Arhen tersenyum sambil membetulkan letak selimut Devan, kemudian ia kembali duduk.

Pintu berdecit. Arhen maupun Kak Vaby segera menoleh dan mendapati Jose yang melangkah masuk, diikuti Ryan dan Jessi di belakangnya.

Sejenak waktu seakan berhenti.

Arhen cukup takjub melihat siapa orang yang di bawa Jose. Jessi, berarti dia sudah sembuh. Ryan, apakah ini berarti Ryan sudah memaafkannya? Memaafkan Devan?

Jessi merasakan tenaganya langsung tersedot habis melihat siapa yang terbaring lemah di depannya. Orang yang sudah cukup lama tidak dilihatnya. Tidak berbeda jauh dengan gadis disampingnya, Ryan juga terpaku setelah melihat apa yang ditunjukkan Jose di ruangan ini.

"Rhen, yang dateng siapa?", suara itu menarik semua orang ke pijakannya. Arhen membuka mulut, ingin menjawab, namun tidak ada suara yang keluar. Sementara Ryan melangkah mendekat.

Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Devan berhasil mengangkat kepalanya sedikit untuk melihat siapa yang melangkah menghampirinya. Menahan rasa sakit yang tak terperi, Devan berkata lemah, "Yan... lo disini?"

Love Is Never Wrong [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang