(18) Yang Selalu Ada

318 17 0
                                    

"Gue emang brengsek banget ya, Jes", desah Devan pelan. Jessi yang berdiri tepat di sampingnya, langsung mengangkat wajah dan melirik ke arah Devan. Ia sendiri tidak bisa berbuat banyak kecuali hanya memberikan senyumnya ke Devan sekali lagi.

Mereka berdua sudah berdiri di balik pohon rimbun yang tak jauh dari tempar Ryan dan Arhen tadi. Melihat dan mendengar semua yang terjadi tadi.

"Mungkin baiknya gue mundur, enggak seharusnya gue ngerusak kebahagiaan Ryan sama Arhen"

"Jangan!!!", cegah Jessi cepat.

"Gue emang enggak ngedukung siapa-siapa, karena lo tau sendiri kalo kalian berdua sama berartinya sama gue. Dan ini juga bukannya gue mau ngambil kesempatan buat dapetin Ryan. Tapi gue enggak suka kalo lihat kakak gue yang jagoan mundur sebelum nyoba, gue enggak suka kalo lo nyerah gini aja, buktiin kalo cinta lo sama Arhen itu gak salah! Lo udah cukup ngalah selama ini, Van!", Devan mengacak-acak rambut Jessi. Gemas pada gadis bijak yang menganggapnya kakak itu.
Diam-diam Devan membenarkan kata-kata Jessi, mungkin ini memang saatnya membuktikan, bahwa cinta itu tidak pernah salah.

~o0o~

Tanpa harus melihat jam tangannya pun, Ryan tahu malam telah larut. Tapi hati serta raganya masih ingin ada disini, menikmati kesendiriannya, menyesali semua yang telah terjadi. Sejak pulang sekolah tadi, Ryan masih saja bertahan disini, di sisi danau, meski Arhen telah meninggalkannya sejak berjam-jam yang lalu.

Danau ini menyimpan banyak kenangan mereka bertiga, dan sekarang mungkin persahabatan itupun sungguh-sungguh tinggal kenangan. Tatapan matanya kosong, dia sudah letih menangis, lagipula air mata itu tidak serta merta membawa kegundahannya juga, semua terasa sia-sia dan hampa baginya.

"Maaf ganggu, gue boleh nemenin lo kan disini ?", Ryan menoleh, melihat seorang gadis yang wajahnya nampak familiar berdiri di belakangnya dan kemudian duduk di sampingnya.

"Kenapa lo bisa ada disini ?", tanya Ryan tanpa mengalihkan pandangannya ke arah gadis itu lagi. Tatapan lurus ke arah danau.

"Gue tau tempat ini, karena dulu Devan pernah bawa gue kesini"

"Bawa lo kesini?"

"Ya.. Dulu gue sedih banget, trus dia bawa gue kesini. Katanya ini salah satu tempat yang bisa bikin dia tenang. Makanya dia ngajak gue kesini", jelas Jessi sambil mengenang hari itu. Hari pertamanya mengenal Devano Ray Pradipta.

"Lo yakin gak suka Devan, Jes?"

"Ya ampun Yan! Lo masih nanya itu aja? Gue gak suka sama Devan!"

"Tapi kalian selalu sama-sama dari smp! Cuma lo cewek satu-satunya yang bisa deket sama Devan setelah kepergian Arhen waktu itu"

"Gue cuma nganggep dia sahabat. Sebagai kakak. Karena dia adalah orang yang paling bisa ngerti gue. Selama ini, gue selalu ngerasa nyaman buat curhat dan minta saran ke dia, karena kita berfikir, kalo kita berdua itu punya persamaan nasib"

"Mungkin lo gak tau perasaan lo sekarang. Tapi, kalo nanti Devan jadi sama Arhen, dan lo malah cemburu, itu artinya lo gak sadar udah jatuh cinta sama dia selama ini"

"Gak mungkin, Yan. Hati gue udah ditempatin orang lain"

"Yaya.. Gue lupa lo udah dijodohin. Sama kapten basket nya Aravea itu, kan?"

Jessi menatap Ryan dengan mengernyit, tapi akhirnya mengangguk. "Yep". Terserahlah kalau dia tidak mengerti

"Menurut lo gue harus ngelakuin apa buat jauhin Arhen dari Devan?", tatapan Jessi ke Ryan berubah sayu. Kenapa pembahasan malah kesini lagi sih? Ini jelas bukan sosok Ryan yang ia kagumi!

Love Is Never Wrong [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang