Chapter 9

5.7K 233 31
                                    

1 bulan telah berlalu..

Nadia POV

Mataku sedari tidak berhenti untuk bolak-balik dari kalender dan undangan pernikahanku yang berwarna hitam.

Huft!

Aku merebahkan badanku yang lelah akibat aktivitas selama satu bulan ini. Ternyata menikah tidak segampang yang aku kira. Kembali aku mengangkat tinggi undangan yang terpampang fotoku dengan si psikopat itu.

Foto itu diambil di kota Paris. Enggak tahu kenapa harus kota Paris yang ia pilih untuk sesi pemotretan, ya..mungkin karena kota itu sering disebut sebagai kota romantis. Sebenarnya di Indonesia masih banyak yang bisa dijadikan untuk sesi pemotretan foto prewedding. Tapi.., ya sudahlah.

Foto pada halaman pertama masih bisa aku terima, tapi di halaman selanjutnya hingga akhir benar-benar dapat menguras emosiku karena mengingatnya.

Bagaimana tidak! Si fotografenya itu sangat kurang ajar sekali! Aku dan si psikopat itu disuruh untuk saling berdekatan, kami pun mengikuti semua instruksinya. Badan kami sudah menyatu dengan sangat dekat dengan posisi tanganku memeluk erat leher si psikopat ini sedangkan ia memeluk pinggangku dengan erat juga. Tahu yang bikin naik emosiku apaa? Si fotografernya menyuruh kami untuk lebih dekat lagi. Lebih dekat kemana lagi sih?! Udah mentok nih sampai di ujung!

Kami secara otomatis juga semakin mendekatkan diri kami satu sama lain. Ini namanya bukan pelukan lagi, tapi kaya mau dicium ini! Sampai-sampai hidungku yang tidak terlalu mancung ini juga mentok dengan hidung mancung si psikopat.

Aku mengatup bibirku dalam-dalam agar tidak langsung berciuman dengan dirinya. Ih! Yang benar saja! Ia menatapku dengan sangat intens saat sesi pemotretan. Gara-gara tatapannya, aku jadi berkeringat dingin karena harus menenangkan jantungku yang sedang berlomba di dalam sana.

Aku berusaha untuk tetap profesional terhadap prosedur yang telah ditetapkan oleh fotografernya. Tapi, selalu saja aku merasa gugup. Aku berusaha menyemangati diriku sendiri agar tetap semangat untuk sesi foto selanjutnya.

Tidak berhenti sampai situ, kami juga sempat bertengkar karena pemilihan warna undangan. Aku memilih warna pada undangan adalah warna biru muda. Tapi, ia menolak. Alasannya adalah warnanya terlalu kekanakan. Aku merenggut ketika warna kesukaanku dibilang warna kekanakan.

Tidak lama kemudian, ia memilih warna yang membuatku menatap horror dirinya. Hitam?! Masa sih?! Aku terkejut ketika ia mengatakan bahwa ia akan memilih warna suram itu.

Aku menolak keras dengan menggelengkan kepalaku kuat-kuat, sedangkan ia menatap tingkah aku dengan menaikkan satu alisnya.

Aku mengatakan kepadanya bahwa warna hitam tidak cocok dipakai untuk undangan pernikahan, atau lebih tepatnya warna hitam lebih cocok untuk undangan duka cita. Tapi, dengan kekerasan kepala yang ia miliki membuat emosi naik pitam. Aku tidak ingin mengundang orang dengan warna undangan yang suram untuk dilihat. Mau taruh dimuka?!

Ia mengatakan bahwa warna hitam merupakan warna yang paling simpel dan casual untuk dilihat. Ya..aku membenarkan alasannya yang masih masuk ke dalam logikaku. Tapi, orang menikah kan tidak pernah memakai warna gelap untuk acara bahagianya. Seperti yang aku bilang tadi, warna gelap lebih identik ke arah kabar duka cita.

Iya..kalau undangannya berwarna hitam, tapi kalau warna gedungnya juga dibuat warna hitam, gimana coba?! Ck! Enggak bisa aku bayangkan sesuram apa nanti suasana acara resepsi pernikahanku.

Tapi, untungnya ia memilih warna putih dicampur dengan soft pink. Kalau tidak, mungkin aku tidak tahu lagi mengatakannya. Mungkin kami bisa bertengkar 3 hari 3 malam tidak selesai juga melalui adu mulut satu sama lama

Crazy Girl And Playboy CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang