Taurus - Hujan
*1005 TAURUS*
Aku rindu.
Rindu dengan gelak tawanya, rindu dengan senyumnya, rindu dengan matanya yang tak jarang menatapku tajam, rindu mulutnya yang selalu saja mengeluarkan kata-kata spontan yang menghangatkan, rindu dengan kerutan di dahinya, rindu dengan alisnya yang sering bertaut kala aku melontarkan kata-kata membingungkan.
Aku rindu dirinya.
Aroma khas dari teh tubruk yang barusan aku buat masih menguar. Cangkir besar yang cukup untukku genggam dengan kedua tanganku, kini mulai menghantarkan hangatnya. Membuatku merasa nyaman diantara dinginnya suhu didalam kamar.
Rintikan hujan turun dengan rusuhnya. Membuat nada tak beraturan ketika bertubrukan dengan genteng.
Terdengar klise jika aku bilang kalau aku sedang duduk dekat jendela dengan menggenggam secangkir penuh teh sembari memikirkan dirinya ketika hujan. Tapi, aku memang se-klise itu.
Mataku hanya diam menatap aliran air yang turun dari atap tetangga seberang—yang ternyata saudara dekat Zian.
Ponsel yang tergeletak di sebelah tanganku yang sedang bertumpu pada kusen jendela menyala, menampakkan sebuah pesan masuk.
Delvin: Besok apaan aja dah yang wajib di bawa?
Aku kembali menggeletakkan ponselku ke tempatnya semula. Minat untuk membalas pesan yang Delvin kirimkan di grup kelas sama sekali tak bersisa.
Rasa sesak menyeruak, mataku mulai memanas. Entah aku kembali mengingat tatapan-tatapan kasihan yang selalu menatap kearahku beberapa hari lalu.
Aku ingat bagaimana cara Delvin menanyakan keadaanku. Aku ingat tatapan kaget yang hampir saja membuat Ara mengeluarkan bola matanya. Aku ingat rasanya pelukan Bu Bekti yang berusaha menenangkan tangisku. Aku ingat air mata yang seharian itu turun.
Semua kejadian yang terekam jelas kini kembali berputar.
Hari kelulusan merupakan hari terburuk sepanjang aku berada di Atlantik. Kenangan terakhir yang paling buruk yang Atlantik berikan padaku.
Tubuhku mulai bergetar, diriku terisak.
Mengetahui Delvin yang sangat tenang hari itu benar-benar membuat dadaku sesak. Keinginan untuk naik keatas panggung sebagai salah satu peraih hasil ujian terbaik hanya menjadi angan yang tertinggal jauh dari realita.
Dan Delvin berhasil naik keatas panggung hari itu.
Kabar baik menimpaku dua kali hari itu. Bukan kabar baik tentangku, kedua kabar itu tentang Delvin.
Pertama, Delvin berhasil masuk ke Garuda melalu jalur prestasi. Kedua, Delvin berhasil meraih nilai sempurna dalam mata pelajaran Bahasa Inggris.
Dan aku hanya bisa melempar senyum rapuh waktu itu.
Aku menghembuskan napas berat, semangatku untuk pergi ke Jogja sedikit mengikis. Membayangkan teman-temanku yang akan bersuka cita menukar informasi tentang hasil ujian, membuatku mundur perlahan.