Dua Lima

211 8 4
                                    

Taurus - Akhir

*1005 TAURUS*

Kami saling melempar senyum. Hawa sepertiga malam yang menusuk tak terasa oleh kami yang saling merentangkan tangan dan memeluk satu sama lain. Koper-koper besar yang kami bawa, dibiarkan tergeletak di lobby sekolah.

Moment ini setidaknya menjadi penghantar mimpi indah kami setelah tiga tahun terbangun. Rasanya hampa ketika mengingat hari besok yang tak lagi sama, tidak ada lagi rok biru, tidak ada lagi tawa canda dari teman sekelas, tidak lagi datang ke gedung yang sama setiap harinya.

Mataku berkaca-kaca kala merasakan pelukan hangat dari teman-temanku, walau akhir-akhir ini kami menjauh setidaknya hari ini aku memiliki mereka lagi, entah untuk berapa lama.

"Maafin gue." Ujarku bergetar.

Mereka melepas pelukannya dariku dan mengusap pipi mereka masing-masing untuk menghapus jejak air mata disana.

"Gue tau, kita tau, kalo kita salah Ta." Hani satu-satunya orang yang tetap bertahan dengan pipi keringnya dan matanya yang tidak terlihat berkaca-kaca sama sekali. "So, is it too late to said sorry?"

Aku bisa dibilang tidak terlalu dekat dengan mereka, tapi saat mereka menjauh sebagian dari diriku merasa tercubit dan kosong. Dan sejak itu aku memilih menghindar saat melihat mereka dari kejauhan, aku tidak suka melempar tatapan sinis, aku sakit saat melihat mereka yang saling bergurau.

Aku hanya bisa tersenyum dan merengkuh Hani ke dalam pelukanku yang kemudian kembali diikuti oleh kelima temanku yang langsung menumpahkan tangisnya.

Aku tidak sendirian, itu yang aku tau sekarang.

***

Aku menggeret koperku ke depan gerbang sekolah, menunggu Ayah yang sedang dalam perjalanan menjemputku. Sebenarnya aku sedikit khawatir saat meminta Ayah menjemputku sepagi ini, tadi saat di telpon suaranya terdengar serak dan parau khas orang bangun tidur. Takut nanti akan terjadi apa-apa padanya.

Tak jauh dari tempatku menunggu, tepatnya disisi sebelah kananku berdiri seorang Delvin yang sepertinya sedang menunggu jemputan sama seperti diriku.

Ngomong-ngomong aku belum berpamitan dengannya, padahal sudah semua teman sekelasku mendapat ocehan doa ataupun sekedar basa-basi dariku, namun dirinya belum.

Setelah berperang batin, aku akhirnya melangkahkan kaki-ku mantap kearahnya dan meninggalkan koperku.

"Vin." Panggilku pelan.

Dirinya yang memakai kaus tipis berwarna maroon dan jeans panjang hitam itu langsung menoleh begitu mendengar namanya dipanggil. Senyumnya langsung mengembang begitu melihatku.

"Kita belom maaf-an by the way." Ujarku berusaha mengingatkan.

"Sombong sih lu." Bibirnya yang tadi menyunggingkan senyum kini berubah datar.

Kedua alisku menyatu, memandangnya dengan tatapan merendah. "Maaf gue calon orang sukses soalnya." Ujarku sinis.

"Sok-sok an lu." Tangannya memukul kepalaku pelan, sembari diiringi kekehan kecil darinya.

"Ih." Dengusku jengkel.

Kepalan tangan terangkat tepat di depan wajahku, tangan Delvin benar-benar terlihat ingin menonjokku sekarang. Aku menjauhkan wajahku yang terlalu dekat, memangdangnya yang sedang memandangku dengan senyuman tipis-namun menghangatkan-benar-benar menyebalkan.

"Mukanya biasa aja." Protesku.

"Pegel Ta."

Sekilas aku memukul kepalanya baru setelah itu meninju kepalan tangannya. Delvin tersenyum, jenis senyum yang mudah dirindukan. Menyebalkan jika harus kembali terjebak dengan senyumannya.

1005 TAURUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang