Tujuh

403 13 0
                                    

Taurus - Nasib Buruk (?)

*1005 TAURUS*


Satu semester telah berlalu, aku merasa tidak ada yang istimewa pada satu semester itu. Yap selama enam bulan, ingat enam bulan aku berusaha melupakan Zian bagaimana pun caranya. Dan pada akhirnya sebuah tembok tinggi yang telah aku bangun, hancur begitu saja saat hari terakhir ujian semester.

Pada hari itu, entah mengapa aku memutuskan untuk pulang telat. Yap, aku dan beberapa teman ku juga Delvin beserta temannya ingin sedikit refresing setelah seminggu berkutat dengan kertas ujian. Ya walaupun hanya duduk-duduk di kelas dan ngobrol ringan, tapi rasanya aku betah.

Kemudian aku memutuskan untuk keluar kelas, ingin melihat keadaan kelas lain. Pada saat itu aku melihat keramaian di depan kelas Ara, aku tidak terlalu penasaran awalnya. Namun saat beberapa kerumunan orang itu merenggang aku melihat Zian, tanpa ingin tau kelanjutannya aku memutuskan untuk masuk ke kelas.

“Kok rame Ta, ada apaan emangnya?” Tanya Rani.

“Gak tau Ran, liat aja.” Sebenarnya aku tidak ada mood untuk menjawab.

Setelah beberapa menit ke depan, Rani masuk dengan teriakan-teriakan yang memekakan telinga sekaligus membuar nyeri pada lubuk hati ku.

“EHH ZIAN JADIAN!”

Fix, satu kata itu hanya membuat sekujur tubuh ku lemas. Namun aku berusaha terlihat rileks sambil terus merapihkan barang-barang ku ke dalam tas, dan setelah selesai aku pamit untuk pulang.

“Gue pulang duluan ya, guys” Pamit ku ramah pada semuanya.

Aku tidak lupa untuk ber-tos kepada semua teman sekelas ku yang masih tersisa di dalam ruang kelas.

“Mau kebawah ya?” Tanya Delvin saat aku meminta tos padanya, aku hanya mengangguk sebagai jawaban untuknya. “Gua ikut, mau balik juga.”

***

Sekarang aku sedang menuruni tangga dengan Delvin di samping ku. Aku bungkam dan tak berniat untuk membuka percakapan dengan Delvin.

“Ta?” Aku hanya bergumam dan itu menjadi jawaban dari ku. “Besok gua lomba, doain ya?”

Aku kemudian berhenti dan menatapnya.

“Seriusan? Wihhh good luck ya Vin, semoga menang.” Delvin hanya tersenyum. Oh aku melupakan satu hal. “Lomba dimana emangnya?”

“Eh, nyokap gua udah di depan duluan yek.”

Delvin tidak menjawab pertanyaan ku, ia langsung lari seribu langkah menuju pintu gerbang meninggalkan ku sendiri di tengah kesepian sekolah hari ini. Berjalan sendiri adalah pilihan terbaik yang pernah orang berikan kepada ku ketika hidup terasa pedih. Samar-samar aku mendengar Ara memanggil ku dari lantai 3.

“Tata mau kemana?” Teriakan nya terdengar cempreng.

“Balik.” Jawab ku tanpa berteriak, namun sepertinya Ara tau jawaban ku.

“Gue masih ada perlu, pulang duluan aja yaa.” Aku hanya menunjukkan ibu jari ku dan tersenyum.

Bagus sekarang semua orang seneng lo jadian Yan, tapi enggak buat gue. batin ku.

♠♠♠

Menyedihkan, satu kata yang pas untuk menggambarkan keadaan ku sekarang. Sekarang aku sudah tidur dengan posisi tengkurap dan wajah ku mencium bantal. Sebenarnya sudah seminggu berlalu hal itu terjadi.

Tanpa ingin menutupi kenyataan sedikit pun, aku merasakan sakit hati yang terlalu sakit untuk aku pendam sendiri. Bukannya tidak mempercayai Ara, tapi aku berpikir lebih baik Ara tidak mengetahui nya. Ara teman sekelas nya, biarkan ia bersuka cita dengan hal ‘baik’ itu.

Sebuah line tiba-tiba masuk.

Delvin

Ta

Aku mengangkat sebelah alis ku, kemudian mengetik dua huruf dengan satu tanda tanya di belakangnya.

Tata

Ya?

Delvin

Engga, iseng aja wkwk.

Tata

Okay.

Percakapan ku dengan Delvin cukup sampai disitu, aku sedang tidak berniat membuat sebuah percakapan panjang, apalagi dengan Delvin. Aku kemudian menaruh android ku di atas nakas disamping tempat tidur dan beranjak menuju balkon kamar ku.

Diluar sini aku bisa melihat beberapa orang lalu lalang menjalani aktifitas pagi mereka di hari jum’at, dan disini aku hanya duduk termenung –cenderung bengong—menatap ibu-ibu yang sedang mengerumuni tukang sayur yang sedang berhenti di depan rumah, ibu ku pun tidak terlewat.

“Rana, mau ibu masakin apa?” Tanya ibu dari bawah.

“Terserah bu.” Jawab ku kemudian di tanggapi senyuman indah yang selalu ibu pamerkan ke semua orang.

Tanpa sengaja aku menatap balkon kamar yang ada di depan rumah ku. Seorang laki-laki yang tidak begitu jelas –karna mata ku yang minus—sedang duduk diam di satu-satu nya sofa yang ada di balkon itu.

Aku ke dalam dan mengambil kecamata ku yang tergeletak asal di atas meja belajar milikku. Bukan terlalu kepo dengan orang baru atau apa, ada sebuah hal menarik yang menjadi daya tarik ku. Sebuah binder yang aku tau jelas itu milikku, ya walaupun sebanyak apapun binder di dunia ini, aku sangat hapal dengan yang di punya diriku.

Tanpa berpikir panjang aku kembali masuk ke dalam kamar dan mencari binder milikku. Dan untungnya milikku masih ada dan tertata rapih di antara buku-buku pelajaran yang lain. Tapi aku heran, mengapa cowok itu bisa punya binder yang sama dengan milikku, apa mungkin itu punya adiknya? Atau saudara perempuannya? Entahlah, bukan urusan ku juga.

Aku kemudian beralih pada wajah cowok itu, aku sedikit tersentak dan memandang wajahnya sedikit lama. Mataku sedikit berair dan seakan pertahanan ku runtuh seketika.

Zian dengan kaos putih dan celana basket terasa cocok di tubuhnya yang tidak begitu tinggi. Aku berusaha terlihat biasa saja dan tersenyum seakan memberikan ucapan selamat baginya, ketika ia menatap ku dan terperangah melihat diriku yang sedang duduk di balkon sebrangnya.

“Hai Ta.” Teriaknya dari seberang.

“Hai.” Sapa ku balik.

“Boleh ngobrol bentar gak? Di taman sana?” Tanyanya sambil menunjuk sebuah taman yang tak jauh dari rumah  ku. “Ta?”

“Oke, gue ganti baju dulu.”

Anggep lo lagi ngobrol sama temen nanti Ta. Batin ku.

Aku mengganti pakaian tidur ku dengan sebuah kaos oblong putih, rok merah marun, dan tak lupa sebuah cardigan yang senada dengan rok yang aku pakai. Terlihat simple kan? Ku harap seperti itu.

Aku menuruni tangga sudah seperti di kejar-kejar badai topan, rusuh. Ibu ku yang baru masuk terlihat kaget dengan suara bising yang kaki ku buat, aku hanya tersenyum melihat ibu ku yang menggeleng-geleng kan kepalanya.

“Bu, Tata ke taman dulu ya?” Pamit ku.

“Mau ngapain?”

“Hehe, ada temen tadi janjian di sana.”

“Gak mandi dulu?” Aku menepuk kepala ku.

“Udah gak usah, keliatan cantik ini kan?”

“Enggak.” Aku menatap ibu ku ini malas. “Yaudah sana ih, tapi jangan lama-lama kamu  kan belom mandi.”

“Iyaaaa.”

Tak lupa aku memakai sendal kesayangan ku sebelum keluar menapaki jalanan yang kotor di depan rumah.

Aku melihat pintu rumah di depan ku tertutup rapat, atau mungkin tadi Zian hanya bercanda. Aku mendengus pelan, tapi tidak berbalik pulang, aku tetap berjalan menuju taman. Berharap boleh saja kan? Bukan hal yang salah jika aku mencoba.

1005 TAURUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang