Taurus - Setelah dua tahun (Epilog)
*1005 TAURUS*
Naik ke jenjang yang lebih tinggi, belum tentu menghapus segala kenangan yang di tinggalkan jenjang sebelumnya.
Walau sudah mengenakan seragam putih abu-abu ini selama kurang lebih dua tahun, kenangan itu masih saja membekas.
Aku selalu berharap ini mimpi, selalu. Sayangnya memang ini kenyataannya.
Aku selalu berharap aku mampu melupakannya. Sayangnya itu memang sulit.
Lagi-lagi aku membayangkan dirinya yang duduk di depanku sekarang. Bertukar canda tawa atau melakukan hal-hal sederhana lainnya yang bisa membuat bahagia ku sempurna.
Sayangnya bahagia itu tak akan pernah sempurna.
"Menurut lo gimana?"
Aku menaikkan kedua alisku memandangnya dengan raut bingung. "Apanya yang harus gimana?"
"Gue harus ngapain?"
Cowok satu ini memang paling tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri, tapi selalu menganggap dirinya mampu memikirkan segalanya. Huh.
"Itu urusan gue, ya lo tinggal lakukan apa yang emang harus lo lakukan."
"Gue gak yakin."
Aku terkesiap, sebenarnya cowok macam apa dia. Bisa-bisanya meragukanku yang selalu menyelesaikannya masalahnya dengan rapih.
"Aigoo!" Tanganku menggeplak kepalanya kosong melompong. "Selama ini yang bantuin lo juga siapa sih? Kok gak percaya banget."
Tentu cowok lemah satu ini langsung mengaduh dan balas memukul kepalaku.
"Ah udah lah sama gue aja, lo sama dia ribet banget perasaan ngambek-ngambekan mulu kayak bocah."
"Sayangnya gue gak bisa nyaingin dia sih." Pai mengalihkan pandangannya dariku sembari mengusap dagunya santai. "Padahal gue ganteng." Kepalanya memutar cepat kembali kearahku, dihiasi senyuman menjengkelkan khas miliknya.
"Ngomong lo ganteng sekali lagi—"
"Ganteng." Potongnya cepat.
Belum sempat aku meraih lengannya untuk mendaratkan belasan cubitan, dirinya lebih dulu berdiri dan berlari pergi. Kalau bukan karna laptopku yang sedang mengisi daya sudah pasti aku akan berlari mengejarnya, sayangnya laptop—yang merangkap sebagai pacar—ini menahanku.
Aku hanya bisa mendesah pelan, kemudian kembali fokus ke laptopku yang sedang menampangkan wajah Niall Horan dengan kacamata super lucunya.
Semenjak kelulusan itu, aku berusaha terobsesi dengan berbagai hal, mulai dari Niall, Shawn, drama korea, dan film-film berbau fiksi. Namun hasilnya nihil, aku tetap terobsesi dengannya.
Pai berulang kali mencoba mengalihkan perhatianku dari dia, berusaha membuatku jatuh dengan pilihan lain, tapi—hah—miris jika tau hasilnya yang nol.
Senyumku kali ini tak selebar biasanya saat melihat namanya bertengger paling atas diantara pesan-pesan lain, menandakan pesan itu adalah pesan terbaru. Sudah lebih dari setengah jam aku membiarkannya tak terbaca, setengah jam aku berusaha mati-matian untuk tidak membuka pesannya dan membalas, setengah jam aku berusaha berubah.
Tidak lagi seperti dulu yang terkesan menggebu-gebu, tak seperti dulu yang selalu berusaha membalas cepat, tidak lagi aku mengulang yang dulu.
Pertanyaan mainstream seputar dunia sekolah dan masa depan menjadi pilihanku untuk memulai percakapan. Setelah mengucapkan selamat ulang tahun padanya yang sedikit telat empat hari, aku berusaha kembali menyambung obrolan, walau terkadang aku takut ketahuan. Ya aku setakut itu.