Drama

9.9K 1.8K 119
                                    

"Hei, Bro!" panggil seseorang ketika Zian tiba di kantin. "Sudahkah Anda ngupil?"

Wajah Zian memerah sebab beberapa murid terkikik gara-gara ledekan tersebut. Dua cowok di samping Zian lantas memajukan langkah, hendak menghajar orang yang berbicara. Namun cepat-cepat Zian menahan dada anak buahnya.

"Cewek bungkus laki ini cari masalah."

"Idiih, nggak level gue cari masalah sama tukang ngupil." Brianda tertawa renyah. Mulutnya terbuka lebar dan kedua matanya tertutup rapat. "Ya udah ya, Bang Zi. Gue ngupil, eh, cabut dulu. Bye-bye, Zian upil."

Dada Zian terasa diremas-remas. Lima menit setelah website sialan itu memposting foto gilanya, beberapa orang tampak meledek. Terutama si cewek bungkus laki alias Brianda. Anjay! Kalau Zian berada di kamarnya, ia akan guling-guling di lantai saking malunya.

"Dari tadi Brianda terus godain lo soal foto-foto itu," Cowok di sebelah Zian, alias Boim, berkomentar. "Awas aja! Pulang sekolah nanti gue pukul dia."

"Tugas lo sekarang bukan mukulin dia," Zian mengimbau. "Tapi cari tahu siapa Underground Rascal sebenarnya."

Mereka mencari tempat kosong. Setelah mengusir kasta merana di bangku jajaran warung soto, mereka pun duduk.

"Gue mau, siang ini kalian dapetin info soal Underground Rascal. Kalau bisa bawa orangnya ke hadapan gue." Zian membeo.

"Itu nggak mungkin," Boim mengomentari. "Nggak ada satupun yang tahu siapa dia, tapi misinya sangat jelas, yaitu, ngancurin siapapun yang sok berkuasa di sekolah ini."

"Sok berkuasa?"

"Lebih tepatnya nyebelin," Boim meralat. "Sekali lo dijadiin target, maka..."

"Maka apa?"

"Siap-siap aja reputasi lo hancur."

Zian mengepal tangannya dengan kesal. Ia menyadari tingkahnya selama pindah ke sekolah ini kurang baik. Salaha satunya mem-bully beberapa siswa. Tapi semua itu cuma buat senang-senang. Itu saja.

"Gue nggak peduli. Pokoknya, hancurin siapapun yang udah bikin gue malu."

*

*
*

"Gue nggak peduli. Pokoknya, hancurin siapapun yang udah bikin gue malu."

Brianda terkikik setelah mendengar pembicaraan Zian. "Kalian dengar itu?" komennya seraya menyomot chiki milik Andro. "Misi pertama kita sukses!"

"Pelan-pelan, Bri!" Davan mengimbau. "Jangan sampai suara kamu kedengaran."

Brianda mengunyah snack rasa jagung bakar, lalu meneguk susu kotak. "Selanjutnya apa?"

"Taktiknya masih sama. Buat dia gentar," Davan menjawab. "Hari ini, yang punya waktu luang bisa nguntit Zian." Ia meraih bungkusan yang sedari tadi dihajar Brianda. Ia harap masih ada sisa, namun nyatanya sia-sia. "Aku harus jaga perpus. Jadi, siapa yang free?"

"Sorry, cafe tempat gue kerja lagi kebanjiran pelanggan," Ail berujar.

"Gue juga nggak bisa. Emak gue minta dianter ke bidan," timpal Andro.

"Udah mau lahiran, ya?" tebak Brianda. "Selamat, Ndro! Adik lo nambah lagi. Jadi enam."

"Tujuh," Andro meralat. "Ampun banget, dah. Emak sama Bapak hobi banger bikin anak."

"Banyak anak banyak rizki," celetuk Davan.

"Banyak tanggungan. Jadinya dana kuliah gue seret."

"Seenggaknya doa kalian bakal lebih diijabah," Ail menanggapi. "Awalnya delapan doa, sekarang jadi sembilan."

Underground RascalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang