Hari itu juga penjuru SSHS heboh. Keputusan kepala sekolah atas tindakan muridnya yang berkelahi benar-benar seperti cambuk. Gustav Aryo, putra dari komisaris jenderal itu dikeluarkan. Tidak boleh menginjak kaki di SSHS apapun alasannya.
"Apa-apaan ini? Kenapa putra saya yang dikeluarkan?" Sang KomJen begitu murka mendengar keputusan sidang siang itu. "Anak lelaki yang berkelahi itu wajar. Kenapa hukumannya sangat berat?"
"Apa sidang barusan masih kurang jelas?" Dengan wibawanya, Pak Ali sang kepala sekolah, menjawab. "Gustav naik kelas secara bersyarat, tapi dia tidak memposisikan diri dengan baik. Dia selalu datang terlambat, sopan santunnya tidak ada, nilai-nilanya tak kunjung naik, bahkan kemarin ribut dengan penjual bakso karena tak mau bayar."
"Jadi, seperti inikah pemimpin SSHS yang sesungguhnya? Yang mudah terhasut oleh kesaksian palsu guru honorer, yang lebih membela anak kere daripada keturunan KomJen, yang mengambil keputusan sepihak, dan mengabaikan pembelaan."
"Maaf, Pak KomJen. Tidak seharusnya Anda mengecapkan kata-kata itu."
"Memang kenapa?" Pria berseragam kebesaran itu mengangkat wakah tinggi-tinggi lalu melirik lelaki yang duduk tertunduk. "Dan soal anak kere ini... aduh, parah sekali. Anda sangat merasa kasihan sampai mati-matian membelanya."
"Saya tidak pernah merasa begitu."
"Lantas kenapa Anda tidak berani mengusut masalah ini ke pengadilan yang sebenarnya? Takut dia nggak bisa bayar kuasa hukum atau pengacara?"
Meskipun ayahnya Gustav bersikap demikian, meskipun di hadapan guru-guru harga dirinya direndahkan, Pak Ali tak gentar. Ia berpegang teguh dengan keputusannya. Kalau Gustav sudah dikeluarkan, maka anak itu memang harus keluar.
Beda sikap Pak Ali, beda pula sikap wali Davan. Setelah sidang berakhir, orang yang diminta menghadap kepala sekolah itu langsung mengomeli Davan.
"Kamu itu gimana sih, Dav? Kamu tahu gak, kios Om siang tadi lagi ramai."
"Tapi gara-gara kamu, kami terpaksa menutup kios. Bikin rugi aja nih kamu."
"Tahu nih Si Davan. Mau jadi jagoan kali. Dasar bego!"
Om, Tante, dan sepupunya malah bicara begitu. Kejam. Tidak berperikesaudaraan.
"Kami gak mau tahu, uang sewa bulan ini harus dibayar dua kali lipat," kata Omnya sarkatik. "Anggap aja ganti rugi gara-gara kamu bikin Om tutup kios lebih cepat."
*
*
*Keesokan harinya, semua kejadian persis seperti yang dibayangkan Davan. Yang pertama, jam matematika kosong sebab guru pengajar tidak masuk. Davan tahu alasannya. Pasti Bu Ditri sedang memulihkan punggungnya yang terluka. Yang kedua, teman sekelasnya kenyinyiran sepanjang hari. Entah di dunia nyata, entah di groupchat.
StevenPal : mulai hari ini, gue adalah penguasa kelas. Salahkan Si kere penjaga perpus kalau kalian gak suka.
Gustav Aryo : sipppp. Steve, balesin dendam gue ya, Bro.
Tari Yuli : yaah, gak ada gustav gak asik. Siapa yang bakal traktir karaokean nih.
StevenPal : protes ke Davan, Tar
Anjani Kyle : gak mungkin, Steve. Duit aja kagak punya. Ciee yang spp-nya naik. Selamat menikmati, deh. Kita sih gak masalah. Lah elo? Met menikmati aja, eaaa.
Dan seterusnya. Dan sebagainya. Hal seperti itu sudah jadi agenda jika kasta merana berulah. Satu-satunya cara agar mereka berhenti adalah diamkan saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Underground Rascal
ActionIngin hukum musuhmu tapi tak punya kekuatan? Jangan risau! Segeralah : 1. Buka website kami. 2. Tulis apa saja ulahnya. 3. Transfer dananya. 4. Nikmati kehancuran dia! Tertanda. Underground Rascal.