Kebat-kebit

7.3K 1.6K 187
                                    

"Lha, di sini rupanya!"

Sebenarnya tanpa harus menoleh, Zian dan Brianda sudah tahu siapa yang bersuara. Si Boim. Cuma dia yang bisa berteriak sekeras itu.

"Zi, anak-anak pada nyariin, tuh."

Boim menunjuk segerombol kasta borju. Lebih tepatnya, di tengah-tengah kantin. Jangan tanya seperti apa penampilan mereka. Yang pasti, semuanya didominasi anak kelas kelas dua belas, tapi tak sedikit yang dari kelas sepuluh.

Di SSHS, membedakan kasta lebih mudah dibanding mengisi soal matematika. Kalau ada yang mukanya kinclong, atribut sekolahnya kekinian, ponsel yang dipegangnya merupakan keluaran terbaru, berani katawa-ketiwi di kantin dengan suara keras, dan mengangkat dagu saat ditatap orang, merekalah kasta borju. Para holang kaya. Kaum atas. Dan pastinya, musuh utama Underground Rascal.

"Jadi traktir gue nggak, nih?" celetuk Brianda. Ia sudah mencium sesuatu yang buruk ketika Boim mencegat langkah mereka.

"Cewek abnormal ini ngomong sama siapa?"

"Yang pasti bukan sama lo," kata Brianda sengit. "Zi, kenapa diem, sih? Hayu! Katanya mau traktir gue!"

Boim menatap Brianda dari ujung ke ujung. Dipandangi begitu rasanya Brianda ingin sekali menendang mukanya. Terutama bagian mata. Sorotan Boim benar-benar berisi penghinaan tersirat.

"Jadi gosip itu emang bener, ya?" kata Boim. Nadanya melecehkan. "Zian, ketua karate, lagi PDKT sama cewek abnormal bernama Brianda."

"Gue nyusul aja deh, Im," tukas Zian tenang-tenang. Ia tahu, kalau Boim dan Brianda tak segera dipisahkan, kantin bakal berubah menjadi arena pertarungan. Dan Zian tak ingin hal itu terjadi. Jadi cepat-cepat ia menarik Brianda ke tempat kosong. Dipastikannya cewek rasa laki ini duduk dengan aman, ditanyakannya, "lo mau makan apa?"

"Apa aja."

"Taik kebo mau?"

"Nggak lucu."

"Lo bilang mau apa aja. Berarti terserah gue, kan?"

"Lo mikir, dong! Masa gue makan taik kebo?!" omel Brianda sambil mendelik. "Lagian siapa yang jual taik kebo di sini? Lo goblok apa tolol, sih?"

"Yeuuu, biasa aja, dong. Galak bener, Mbak."

Brianda tidak menyahut. Cewek itu memutar bola mata dengan malas. Dan Zian melihat hal tersebut. Sebersit perasaan tak enak mengetuk relungnya, maka ia pun duduk dengan hati-hati di hadapan Brianda.

"Maaf kalau gue bikin kesel," kata Zian dengan suara lunak. "Sekarang gini, lo mau apa aja gue bayarin. Asal lo jangan ngambek. Gimana?"

"Kalau gue minta lo nggak usah gabung sama temen-temen lo, lo keberatan?"

"Bentar doang, kok. Ntar gue balik lagi."

"Ya udah. Terserah, sih."

Zian tersenyum geli. "Muka lo lucu kalau lagi ngambek."

"Thanks berat."

"Mirip monyet."

Brianda menggebuk lengan Zian dengan keras, cowok itu pura-pura mengaduh. Tepat pada saat itu, kaum borju melirik ke arah mereka. Dan untuk kesekian kalinya, Brianda benar-benar muak. Mereka seperti tengah menilainya dengan tatapan merendahkan.

"Temen-temen lo udah nyuruh lo dateng, tuh," decak Brianda sebal. "Udah sono!"

"Secepatnya gue bakal balik. Lo mau pesen apapun, bilang gue yang bayarin."

"Iya-iya!" sahut Brianda sambil beringsut. Kebetulan perutnya keruyukan. Kebetulan juga barusan Zian bilang dirinya bebas makan apa saja. Cihuy!

Brianda berjalan ke konter yang menjual ketoprak. Ludahnya memang ngidam ketoprak sejak tadi. Setelah memesan, ia berpindah ke warung di sebelahnya. Konter penjual jus. Lantas dipesannyalah sari buah alpukat, diinfokannya kalau yang bayar adalah Zian.

Underground RascalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang