Delusi Ciptaan

8.9K 1.6K 136
                                    

Hampir semalaman Davan tak bisa tidur. Ia sudah mengganti berbagai posisi. Ia pun telah memaksa sekujur tubuhnya rileks. Tapi sampai pening kepalanya menyambut dini hari, ia masih tak bisa mengerjap tenang.

Masih terekam jelas bagaimana Brianda menatapnya tadi. Sebelum cewek itu masuk ke kamarnya, terlukis sekali rona kesakitan dari matanya. Seandainya kelereng indah itu bisa bicara, pasti ia akan berkata : gue kecewa sama lo, Dav!

Namun jika malam hari Davan dilanda rasa bersalah, maka keesokan harinya ia didera panik. Ketika ia hendak minta maaf, cewek itu sudah tidak ada di kamar. Awalnya Davan kira Brianda pergi duluan -seperti yang dilakukannya belakangan ini-namun ketika ia mendatangi kelasnya, salah satu murid memberitakan bahwa Brianda absen tanpa keterangan.

"Udah biarin aja dia pergi. Ntar juga balik!" begitu kata Om Tian ketika hari itu Brianda dipastikan tidak pulang. Tanpa merasa panik apalagi peduli. Yang ada di otaknya memang cuma kios, kios, dan kios. Dari kios dia bisa dapat duit. Tapi dari Brianda? Cuma beban dan muka tercoreng akibat ulah-ulahnya.

"Kita harus lapor polisi, Om." Suara Davan sudah separuh memohon.

"Kagak perlu!" tukas istrinya Om Tian. "Bikin malu aja lapor polisi. Ribet pula. Udah deh, biar aja dia ngeluyur. Kalau laper pasti pulang."

Tapi di hari berikutnya Brianda tak memunculkan batang hidung. Peredarannya hilang, eksistensinya lenyap. Davan sudah menghubungi nomornya namun tak ada jawaban sama sekali. Selain itu, Davan sudah tanya pada beberapa temannya. Termasuk Andro dan anak klub taekwondo. Namun sama seperti dugaannya, tidak ada yang tahu di mana Brianda.

"Coba tanya anak-anak yang sering main sama dia, Dav," usul Naomi.

Sampai tiga hari Brianda menghilang, memang cuma Naomi yang membatu Davan. Cewek itu ikut mencari dengan bantuan beberapa temannya. Bahkan, ia pun rela kepanasan dan kehujanan untuk menemani Davan menelusuri beberapa tempat.

"Udah, Nom. Semua temannya udah aku tanyain," jawab Davan putus asa.

Di titik ini ia benar-benar merasa kacau. Ia jengah setengah mati. Kenapa semua kekacauan hadir bergantian? Kemarin sahabat-sahabatnya, dan sekarang Brianda?

Ia merasa bingung. Tidak ada yang membantu kecuali Naomi. Sahabatnya -eh, mantan sahabat-yang lain benar-benar tak bisa diandalkan. Andro berlagak tak peduli, Ail pun seperti masak bodoh. Ketika Davan bilang Brianda hilang, keduanya sama-sama tak menunjukkan reaksi. Apalagi aksi.

*
*
*

"Ail, maafin aku, ya. Kemarin-kemarin aku lagi kacau banget. Nggak seharusnya aku gomong kayak gitu." Naomi berhenti bicara, gadis di hadapannya ikut membisu. "Sekarang kita baikan, ya. Kita bantu Davan nyari Brianda. Oke?"

Jangan kayak gitu! Naomi merepetisi kata tersebut. Ia mengacak rambutnya dengan kesal lalu mengatur napas lagi. Setelah paru-parunya sudah lebih tenang, kembali ia memadang gadis di hadapannya. Alias bayangannya di pantulan cermin.

"Ail, mari kita baikan dan lupain masalah kita."

Sebelum ia menyambung, panggilan dari luar kamar membuatnya bergegas. Itu suara abangnya, Antonio alias Bang Nio. Dengan suara berat khasnya ia mengancam Naomi supaya cepat turun. Kalau sedetik saja Naomi telat, ia dipersilakan jalan kaki ke sekolah.

"Makan yang bener, Nom. Biar konsentrasi kamu bagus," Mama bicara sambil menyodorkan segelas susu. "Beberapa bulan lagi udah mulai ujian. Gimana? Persiapan kamu udah lebih dari cukup, kan?"

"Lumayan, Ma."

"Kok, lumayan? Harusnya udah bener-bener mantap," Sang Ayah angkat suara. Setelah meneguk kopinya ia kembali nyap-nyap, "Percuma Papa daftarin kamu bimbel kalau persiapan kamu masih disebut lumayan."

Underground RascalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang